Suara Keheningan | Ino Sigaze
Anak kecil cuma butuh kado kecil, bukan teori-teori besar.
Hidup manusia punya masa-masanya. Satu hal yang pasti bahwa setiap orang punya masa lalu dan masa kecil. Kualitas masa lalu dan masa kecil yang dimiliki seseorang tentu berbeda-beda.
Kualitas masa lalu dan masa kecil akan menentukan seberapa berartinya tentang hubungan seseorang dengan orang lain dan pengalaman-pengalaman yang berkesan.
Kenangan apapun yang dimiliki seseorang pasti juga berkaitan dengan orang lain dan kesan awal entah itu adalah momen ketika memperoleh sesuatu atau bahkan bisa juga karena menemukan sesuatu.
Nah, salah satu masa dan masa kecil yang lengket sampai saat ini adalah kenangan ketika memperoleh salam tempel dari "mama Nggae." Mama Nggae adalah sebutan khas dan terhormat di Flores untuk istri dari kakaknya bapak kandung.
Mama Nggae saya adalah seorang muslim yang hidup di kota Ende. Kasih sayangnya hingga sekarang masih terasa. Ya, masih lengket cerita-cerita tentang salam tempel masa kecil dulu.Kenangan salam tempel itu sebenarnya tidak seberapa, namun mengapa salam tempel itu tetap lengket hingga sekarang.
Ini ada 3 alasan, mengapa salam tempel itu tetap lengket:
1. Salam tempel ketika itu adalah kado pertama di masa kecil
Kado pertama bagi saya adalah kado yang sangat berarti. Sebagai anak kampung yang tidak pernah mendengar kata kado pada tahun 1980-an, terasa sekali peristiwa itu sungguh membekas.
Ia menarik dan memelukku, yang kebetulan waktu itu saya lagi sakit karena tulang rawan pada bagian dada sedikit terganggu. Mama Nggae saya kebetulan pintar untuk menata kembali jenis sakit seperti itu. Entahlah namanya, di Flores menyebutnya bisa mengurut.
Benar-benar terbantu tidak lama setelah mama Nggae mengurut dada saya. Anehnya saya tidak terlalu bersyukur karena kesembuhan itu, tetapi karena salam tempelnya itu.
Salam tempel pada waktu itu, kata ibuku bisa untuk membeli seragam sekolah. Duh senang minta ampun deh. Nah, kenangan salam tempel pada Idul Firti itu yang bagi saya sungguh membekas dan lengket.
2. Salam tempel itu adalah tanda kasih sayang
Sejak saya memperoleh salam tempel pada waktu itu, sebagai anak kecil perlahan-lahan tahu bahwa mama Nggae sayang saya. Bahkan hingga berdampak pada liburan sekolah dasar, kadang kala berlibur di rumah mama Nggae.
Sejak saya memperoleh salam tempel pada waktu itu, sebagai anak kecil perlahan-lahan tahu bahwa mama Nggae sayang saya. Bahkan hingga berdampak pada liburan sekolah dasar, kadang kala berlibur di rumah mama Nggae.
Entahkah di rumah kurang perhatian, rasanya tidak juga. Karena bibi saya juga sangat perhatian, ya, biasa memberikan telur rebus. Apalagi kalau sudah panggil ke rumahnya, biasanya di sana ada bubur nasi merah dan telur rebus. Istimewa banget.
Salam tempel itu yang membuat saya sadar bahwa saya adalah anak yang dikasihi bukan cuma keluarga saya sendiri, tetapi bibi dan mama Nggae juga. Tidak heran, cerita dan sebutan mama Nggae diulang-ulang entah saat ke kebun bersama ibu dan bapa atau saat ke sekolah bersama sang kakak.
Entahlah kenapa, tapi nyata bahwa cerita ulang saja tentang salam tempel itu, selalu saja ada rasa bahagia. Ya, kenangan yang indah dan tetap lengket hingga sekarang.
3. Salam tempel itu sebagai tanda ikatan kekeluargaan
Itu kenyataan bahwa seorang anak kecil tentu tidak tahu banyak tentang hubungan kekeluargaan. Apa artinya mama Nggae, bapa Nggae tidak artinya bagi saya sebenarnya.Namun, saya dimudahkan untuk menaruh percaya bahwa mama Nggae dan bapa Nggae itu adalah keluarga saya dan orang baik, itu hanya karena salam tempel.
Salam tempel itu lebih berarti dari suatu penjelasan panjang ibu dan bapak tentunya. Anak kecil, tidak butuh teori dan tidak paham arti ini, arti itu, atau hubungan ini dan itu.
Sederhana saja, jika keluarga, berarti saya disayangi dan mereka beri sesuatu buat saya. Kasih sayang untuk anak kecil, tidak bisa dipisahkan dari salam tempel.
Nilainya berapa, sebenarnya tidak penting, karena anak kecil tidak bisa bedakan mana yang bernilai dan tidak, tetapi bahwa "ada sesuatu" sebagai yang berharga dan bisa dipegang mereka secara langsung, itulah yang paling berarti dan lengket.
Gara-gara salam tempel, saya percaya bahwa mama Nggae dan bapa Nggae itu orang baik dan keluarga saya. Tidak heran, kalau liburan, saya minta pada bapa supaya pergi ke rumah mama Nggae.
Dari salam tempel ke nasi bungkus
Cerita tentang salam tempel sebagai pengalaman pertama pada hari Idul Fitri itu tidak pernah terpisahkan dari cerita nasi bungkus. Mama Nggae saya membagikan kami pagi-pagi untuk sarapan pagi nasi bungkus.
Wow saya masih ingat, campuran nasi kuning di dalam bungkusan daun pisang. Di dalam nasi kuning itu, ada ikan goreng bale tomat. Duh sedapnya bikin ngangenin lho.
Kenangan kecil itulah yang berulang tak terbendung saat mendengar kata Idul Fitri. Nah, melalui tulisan ini, saya ingin menitip doa kecil untuk mama Nggae di kota Ende, semoga mama Nggae tetap sehat dan memperoleh berkat Tuhan yang berlimpah-limpah.Rasa rindu berkobar, saya ingin kembali ke rumah mama Nggae.
Saya ingin bertemu dan memberi salam tempel sebagai tanda terima kasih saya padanya. Doaku untuk Mama Mima, mama Ngge yang terkasih di kota Ende.Demikian cerita dan tulisan kecil yang terbersit dari kenangan-kenangan masa kecil tentang salam tempel.
Tiga alasan mengapa salam tempel itu tetap melengket, bisa saja menjadi pesan edukasi untuk kaum ibu dan siapa saja tentang bagaimana menyapa anak-anak.Ya, semua itu tentang tanda dan ungkapan kasih sayang yang memang nyata dan tulus dari hati. Tempelannya sungguh lengket di hati hingga bisa melahirkan coretan kenangan di Kompasiana.
Salam berbagi, ino, 10.05.2021.
Baca artikel aslinya di sini: 3 Alasan Mengapa Salam Tempel Itu Tetap Lengket di Hati Halaman 1 - Kompasiana.com