Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze
Sesi cerita dan refleksi dari ziarah ke Tanah Suci kali ini tentang pengalaman di Gunung Tabor di Israel. Tempat dan kisah dalam Kitab Suci tentang Transfigurasi bagi saya adalah kisah yang paling saya suka. Kisah itu mengingatkan saya akan suatu peristiwa kecil pada tahun 2000 ketika masih di KPA St. Paulus Mataloko. Suatu hari pada tanggal 6 Agustus 2000 mengikuti Adorasi perdana untuk menentukan pilihan selanjutnya setelah melewati masa persiapan dua tahun. Kisah gunung Tabor itulah yang mengarahkan saya ke Karmel. Karena itu, sejujurnya ketika benar-benar berada di gunung Tabor rasanya begitu damai dan sungguh berlimpah sukacita. Refleksi itu lebih fokus pada pengalaman trans-figur pada para murid saat mereka intensif bersama Yesus.
Gunung Tabor saat ini
Gunung Tabor terletak di sebelah utara negara Israel. Tepatnya di ujung timur Lembah Yizreel, 17 km dan terletak di sebelah barat Danau Galilea. Jika kini puncaknya dapat dicapai dengan kendaraan, jika harus berjalan kaki maka kurang lebih melewati 4.340 anak tangga sampai ke puncaknya. Jalan berkelok dengan dinding yang curam tidak terlalu berbeda dengan jalan menuju gunung Karmel. Hari yang cerah namun juga tidak pasti apakah waktu itu kami mendapatkan izinan untuk merayakan Ekaristi atau tidak. Dalam hati kecil hanya bisa berharap semoga bisa mendapatkan kesempatan merayakan Ekaristi di atas gunung Tabor. Ya, persis seperti yang saya harapkan. Saya berjumpa dengan seorang imam Fransiskan dan langsung mengajak saya ke Sakristi, lalu menunjukkan ruang di mana kami diberikan kesempatan untuk merayakan Ekaristi. Hari itu adalah hari pertama merayakan Ekaristi di Israel. Buku tata perayaan Ekaristi telah disiapkan di sana lengkap dengan teks bacaan dan doa-doanya. Ternyata kami merayakan misa di ruang Elia. Sebuah ruangan kecil di sebelah kanan dari pintu masuk gunung Tabor. Berkali-kali saya telah membaca teks Transfigurasi di gunung Tabor itu, namun baru pertama kali menjadi begitu tersentuh, karena teks injil itu sedikit diubah dengan tidak lagi menyebut Tabor tetapi „di sini dan di tempat ini.“ Perubahan itu sederhana, namun membuat terkejut dan tercengang. Posisi geometris seperti diseret ke titik sentral ketika Yesus, Elia dan Musa serta para murid ada di sana. Munculnya kesadaran itu sungguh membuat saya seperti membisu beberapa saat sebelum memberikan renungan singkat untuk peserta waktu itu. Rasa syukur dan haru campur aduk ketika menyadari bahwa di tempat Elia kami diberikan waktu berada dan merenungkan sejenak tentang transfigurasi hidup.
Hidup itu adalah suatu proses transfigurasi
Kata transfigurasi memang terlalu dalam maknanya dan terlalu sempit pemahaman saya untuk memahaminya dalam kaitannya dengan transfigurasi Yesus. Dalam banyak bahasa istilah transfigurasi sudah dikenal luas. Orang Jerman menyebutnya sebagai Verklärung des Herrn, Verklärung Christi oder Transfiguration. Kata itu berasal dari bahasa latin transfiguratio Domini; sedangkan dalam bahasa Yunani μεταμόρφωσις atau metamorphosis. Karena itu, dalam refleksi kecil ini saya lebih menyoroti perspektif terkait artinya dalam bahasa Yunani yakni sebagai sebuah proses metamorphosis. Ada beberapa aspek yang terpancar dari teks Matius 17:1-12.
Fase Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes
Inisiatif untuk masuk dalam proses transfigurasi ini adalah Yesus. Yesus membawa mereka. Kesadaran inilah yang menyingkirkan kesombongan rohani apalagi ketika berada di puncak Tabor. (Baca: puncak kepercayaan dan kejayaan). Saat berada di Tabor terasa sekali bahwa ada perbedaan begitu tipis antara merasa hebat dan semuanya karena kemurahan Tuhan. Inisiatif Yesus bagi saya adalah kata kunci. Dia yang memanggil, mengajak dan membawa ke puncak bukan saya atau siapa saja. Demikian juga saya sampai ke sana pun bukan karena saya, tetapi karena dituntun oleh orang lain.
Fase Kesendirian yang intensif: Di situ mereka sendiri saja
Kalimat terakhir pada ayat pertama ini terasa bagus sekali untuk mengembalikan kesadaran tentang persaudaraan dan komunitas. Apa itu komunitas? Komunitas itu bukan soal jumlah orang, tetapi soal intensitas bersama Yesus. Intensif mengalami kesendirian bersama Dia yang membawa kita. Ya, metamorfosis pada tahap kedua bagiku adalah kesadaran bersaudara bersama Yesus. Komunitas persaudaraan yang saya alami di sana bukan dengan sesama sebagai Karmelit, tetapi dengan mereka yang merindukan spiritualitas Karmel atau juga dengan mereka yang merindukan kedekatan dengan Yesus. Perspektif ini adalah tantangan masa depan bagi para Karmelit. Elia sang nabi besar itu dikenang dalam satu ruang kecil di Tabor dengan satu gambar Elia di atas pintu masuk ke ruang itu. Lagi-lagi tidak ada yang istimewa di dalam ruang kecil itu cuma ada satu meja altar kecil dan beberapa kursi. Kesederhanaan yang intensif itu barangkali yang dipikirkan para arsitek. Saya yakin bahwa pengalaman persaudaraan yang intensif antara para murid dan Yesus itulah yang memungkinkan mereka diperkenankan melihat kemuliaan Kristus di atas gunung Tabor.
Fase melihat Musa dan Elia sebagai Figur Profetis
Kesendirian yang intensif bersama Yesus itu adalah proses metamorfosa yang dimulai dari cara pandang (mata). Mata yang bisa melihat kebaikan dan cahaya harapan di depannya, tetapi telah dilihatnya saat sekarang ini sebelum semua itu benar-benar terjadi. Gagasan ini terbentuk dari preposisi yang membentuk kata nabi itu dalam alam berpikir Yunani. Preposisi pro berarti sebelumnya. Demikian juga intensif dalam persaudaraan itulah yang memungkinkan tiga murid itu melihat sosok profetis di dalam Elia dan Musa. Gambar Elia di Gunung Tabor Metamorfosa hidup itu tidak hanya berhenti dengan kesadaran akan inisiatif Allah dan menjadi intensif sebagai saudara bersama Yesus, tetapi juga harus berdampak profetis nanti. Dimensi profetis yang dialami para murid di Tabor lebih merupakan pengalaman pelajaran (Vorbildung) atau bina lanjut tetapi dalam arti propaideia atau persiapan sebelumnya atau semacam pembekalan. Dimensi pengalaman profetis di sini harus sampai pada ungkapan kebahagiaan bersama: „Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini.“ Pengalaman profetis di Tabor melahirkan sukacita bagi para murid. Namun, bahaya dari setiap ungkapan kebahagiaan adalah munculnya gagasan tentang pemisahan: „Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.“ Tahap metamorfosa mungkin tidak selamanya terang. Karena itu, tidak heran gagasan Petrus ditutup dengan awan yang terang, lalu seakan-akan menyeret Petrus masuk ke metamorfosa tahap berikutnya.
Fase Mendengarkan
Intensitas persaudaraan ketiga murid masih terlihat kental, ketiganya mengalami ketakutan yang sama dan sama-sama bersujud. Di sini tampak sekali ada unsur solidaritas dan pengampunan. Yakobus dan Yohanes tidak menuduh Petrus sebagai yang memiliki ide konyol, tetapi menanggung kekonyolan ide pemisahan Petrus dengan diam dan sikap menerima yang santun lalu intensif sebagai murid dalam kerendahan hati. Mereka sama-sama tersungkur. Mereka belajar saling mengampuni. Tabor Transfigurasi itu bukan untuk suatu pemisahan, tetapi untuk mendengarkan dengan sujud dan rendah hati. Mendengar dalam bahasa Yunani Ακούω (Akuo) dari segi bunyi terdengar mirip sekali dengan bahasa kita Akii untuk orang ketiga tunggal (akouei) dalam bahasa Yunani. Bisa jadi fase ini adalah fase terpenting yang menghasilkan energi untuk hidup persaudaraan. Tanpa energi untuk mendengarkan, maka persaudaraan itu hanya berisikan provokasi, buli, iri hati dan kedangkalan diri kita masing-masing. Ketenangan untuk mendengarkan dan mengampuni adalah energi hidup persaudaraan.
Fase Tersungkur
Tetapi mengapa ada ketakutan? Ketakutan itu berkaitan dengan pemisahan. Pemisahan dalam gagasan Petrus itu sendiri. Mereka takut karena pesta sukacita mereka berlebihan, sehingga tiba-tiba Yesus tidak lagi bersama-sama mereka. Mungkin ini adalah peringatan tentang sukacita persaudaraan yang selalu diungkapkan dengan pesta persaudaraan dalam grup-grup kecil kita. Ungkapan sukacita seperti itu sangat mudah memisahkan kita dari posisi geometris spiritual atau posisi rohani ketika berada bersama Yesus secara intensif. Metamorfosis pada Tabor persaudaraan itu tidak pernah lepas dari pengalaman terpisah atau merasa sendiri dan menjadi takut. Karena sesi kesendirian itu merupakan fase menuju kerendahan hati atau fase tersungkur. Fase tersungkur itu adalah fase terdekat dengan saat Yesus yang datang menyentuh dan menepuk bahu berdirilah dan jangan takut. Jika persaudaraan dihayati dalam bingkai pengalaman tersungkur Petrus, Yakobus dan Yohanes, maka kita tidak punya alasan untuk takut tersungkur. Kejujuran dalam menggagas sesuatu itu jauh lebih penting daripada takut diseret ke sudut. Orang tidak akan tersungkur kalau tidak pernah mengalami terpisah dari lingkaran intensif yang semu. Jadi semestinya jangan membiarkan diri ada dalam lingkaran persaudaraan yang semu tanpa pengalaman mendengarkan dan menjadi profetis.
Fase Melihat Yesus seorang diri
Fase istimewa di puncak Tabor ketika mereka tidak melihat seorangpun kecuali Yesus seorang diri. Fase ini bukan saja menjadi fase terakhir pengalaman di Tabor, tetapi juga menjadi fase penuh tantangan ketika harus turun dari gunung. Fase di mana mereka harus berjumpa dengan orang lain namun juga berpegang pada larangan-larangan atau hukum sebagai bekal perjumpaan dengan Musa. Fase yang tidak pernah terpisah dari diskusi dan perdebatan. Fase metamorfosis saat Yesus berbicara tentang Elia dan penderitaan Anak Manusia. Memang Elia akan datang dan memulihkan segala sesuatu. Elia sudah datang, tetapi orang tidak mengenal dia, dan memperlakukannya menurut kehendak mereka. Demikian juga Anak Manusia akan menderita oleh mereka. Fase di mana para murid fokus melihat Yesus itu ternyata mendatangkan pengertian yang luar biasa. Pengertian yang mendalam para murid tidak datang sebagai loncatan tiba-tiba, tetapi melalui proses bertahap yang penuh dengan pergulatan dan pengalaman tersungkur. Mereka tidak akan mengerti kalau mereka terpisah dari Yesus. Mereka tidak akan mengerti, jika mereka tidak mempelajari roh kenabian Musa dan Elia di Tabor. Transfigurasi para murid terjadi dalam kesadaran mereka bahwa mereka menjadi murid karena Yesus memanggil dan membawa mereka. Mereka menjadi orang terpanggil. Orang terpanggil itulah figur baru atau figur yang telah diubah dari pengalaman persaudaraan dan rohani di Tabor. Mereka juga adalah pendengar dan perenung bagai nabi. Figur pendengar dan perenung adalah juga figur baru yang telah diubah di Tabor. Mereka juga adalah pengampun yang rendah hati. Figur hasil formasi di Tabor telah membentuk Petrus, Yakobus dan Yohanes sebagai pribadi pengampun. Dan yang terakhir adalah mereka telah menjadi orang yang mengerti (bdk. Mat 17:13).
Penutup
Ungkapan sukacita di Tabor saat itu hanya bisa dibagikan dengan refleksi kecil ini. Transfigurasi hidup persaudaraan barangkali tidak jauh berbeda dari metamorfosa pengalaman para murid di gunung Tabor. Pengalaman transfigurasi atau metamorfosa dalam konteks persaudaraan tidak terlepas dari inisiatif Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Andreas dan fase-fase formatio atau Vorbildung di gunung Tabor. Bahkan bisa dikatakan bahwa kisah transfigurasi itu adalah kisah biblis yang sangat kaya maknanya dan tidak hanya relevan untuk hidup umumnya, tetapi juga untuk hidup persaudaraan khususnya. Meskipun demikian, refleksi ini hanya merupakan permenungan pribadi ketika pernah mengalami damainya Tabor saat itu di sana.