Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze
Artikel asli baca di sini: Mencermati Lahirnya Generasi Mati Rasa pada Masa Pandemi Covid-19 Halaman all - Kompasiana.com
Pada masa pandemi ini, orang boleh menjalin hubungan akrab dengan lingkungan alam tanpa curiga, namun tidak demikian terhadap sesama manusia. Alam adalah damaiku, padanya tersingkir cemas, cuma ada nafas lega.
Hampir satu setengah tahun virus corona tersebar di 190 negara di seluruh dunia. Penyebaran virus itu tidak pernah terpisahkan dari cerita-cerita tentang sesak nafas, serangan pada paru-paru manusia, kekurangan oksigen, kekurangan vaksin, lemahnya imun sistem tubuh dan lain sebagainya.
Semua detail cerita itu tidak pernah jauh dari cerita tentang duka dan kematian manusia yang hampir merata di seluruh dunia. Data tentang kematian yang dirilis de.statista.com dalam hubungan dengan kasus kematian di seluruh dunia sejak Januari 2020 sampai dengan 5 Juli 2021 berjumlah 4.000.519. Bisa saja data ini berbeda dari sumber data lainnya, namun sudah pasti angka kematian secara umum sudah mencapai lebih dari 4 juta manusia di seluruh dunia ini.
Tulisan ini tidak bermaksud menakutkan pembaca, tetapi lebih pada mengungkapkan realitas yang ada bahwa virus corona sejak awal Januari 2020 hamilkan duka dan melahirkan kematian setiap hari.Fenomena hamilkan duka dan lahirkan kematian manusia itu menjadi fenomena yang aneh. Mengapa?
Sejak awal saya mendengar dan mengamati bagaimana komentar teman-teman dan siapa saja terkait kematian akibat covid, selalu saja ditemukan komentar-komentar yang aneh. Beberapa ragam komentar yang pernah ada seperti ini: "100 yang meninggal sehari dalam satu negara, ah itu gak banyak" Lalu ada juga yang mengatakan "12 ribu orang yang meninggal secara keseluruhan di negara kita itu hanya beberapa persen saja dari total jumlah penduduk."
Tentu banyak lagi ungkapan-ungkapan spontan lainnya, yang hemat saya tidak pernah dicermati dengan baik dampak dan pengaruhnya bagi tumbuhnya konsep tentang fenomena mati rasa di masa Pandemi ini. Berbanding terbalik, ketika misalnya terjadi kasus penyerangan terhadap beberapa orang di sebuah kota di Eropa atau di Indonesia, maka pemberitaannya menjadi begitu panjang, bahkan dihubungkan dengan hal-hal lainnya.
Benar bahwa sebab kematian itu turut menentukan bagaimana konsep orang tentang kematian. Akan tetapi, namanya kematian tetap saja sama memberikan dampak bagi orang-orang yang hidup suatu kehilangan dan duka yang mendalam. Apalagi kematian begitu banyak orang dalam waktu yang sama tentu meninggalkan duka dan kehilangan yang mendalam, tidak hanya bagi keluarga dan sahabat serta kenalan, tetapi juga bagi semua orang.Nah, kenyataan seperti inilah yang menarik untuk ditelaah.
Ya, bukan lagi sebagai suatu kematian beberapa orang karena sebab tertentu yang bisa dikategorikan sebagai suatu kekerasan atau tindakan yang tidak manusiawi saja, tetapi lebih dari itu suatu kematian massal yang dialami terus menerus dalam kurun waktu tertentu, hingga manusia sendiri merasakan bahwa kematian itu sudah biasa.Seorang teman saya mengatakan seperti ini: "Saking setiap hari dengar berita tentang kematian, jadinya seperti sudah kebal." (R. M., 7.7.2021).
Kebal dengan berita tentang kematian dalam konteks ini bukan berarti kematian yang disebabkan oleh virus corona itu dianggap wajar, tetapi lebih karena tidak punya pilihan lain untuk menyelamatkan diri.Pengalaman kematian yang terus-menerus hingga menjadi biasa dengan fenomena itu bisa saja menjadi sebuah trend baru tentang lahirnya generasi "mati rasa."
Ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang lahirnya generasi mati rasa pada situasi krisis covid19 ini:
1. Virus misterius, bisa ada di mana saja, kapan saja dan bisa serang siapa sajaSebagian orang masih belum percaya bahwa covid-19 itu ada dan bisa mematikan, meski kematian terjadi setiap hari.
Kenyataan adanya anggapan bahwa Covid itu tidak ada memang sungguh-sungguh sangat menyedihkan bahkan bisa dikatakan bisa sangat menyesatkan.Sudah tahu bahwa kematian oleh karena serangan virus korona di seluruh dunia sudah mencapai angka lebih dari 4 juta, tapi orang masih belum juga percaya.
Bagaimana cara meyakinkan orang-orang seperti itu? Bisa saja orang-orang seperti itu adalah kelompok orang yang anti teknologi dan anti media.Kecurigaan pada berita-berita hoax begitu tinggi hingga mereka tidak percaya sampai sendiri terpapar covid. Konyol bukan?
Covid memang tidak pernah dilihat kasat mata, namun virus itu benar-benar ada. Langkah penting yang mungkin perlu dilakukan pemerintah bisa juga sosialisasi khusus pada orang-orang yang belum menerima kenyataan adanya covid dan bahayanya. Penyakit misterius itu benar-benar ada dan sangat berbahaya bagi siapa saja yang ingin konfrontasi dengannya. Jauhkan diri dari sesama secara fisik adalah pilihan teraman untuk saat ini.
2. Situasi dilematis yang terlalu sulit dihadapi sebagian besar manusia saat ini antara cinta dan menyelamatkan diri
Saya mendengar cerita tentang seseorang yang sedang dalam proses pemulihan karena menderita serangan kanker, tiba-tiba diketahui bukan cuma suaminya, tetapi juga anaknya terpapar Covid-19.Keduanya dibawa ke rumah sakit, meskipun di sana belum tentu secepatnya ditangani oleh karena begitu banyaknya orang yang sedang menunggu perawatan di rumah sakit.
Saking sedihnya sang istri tidak peduli atau mati rasa kemudian berangkat juga ke rumah sakit sekedar untuk menjenguk suami dan anaknya.Beberapa jam kemudian, badannya sudah mulai terasa dingin, seperti demam dan menggigil. Meskipun demikian, ia jadinya mati rasa karena pilihan yang dibuat dalam situasi dilematis yang ekstrim antara cinta dan menyelamatkan diri sendiri.
3. Generasi mati rasa lahir karena tekanan ekonomi yang luar biasa
Sebagian orang tampak seperti mati rasa bukan karena mereka tidak percaya bahwa ada virus Covid-19 yang mematikan, tetapi lebih karena tekanan ekonomi yang menyeret mereka harus melakukan sesuatu di tengah kesulitan.
Saya masih ingat kisah di bulan Mei 2020 lalu, saat kasus baru dan angka kematian oleh serangan Covid-19 semakin meningkat, pemerintah di semua negara bagian memberlakukan aturan lockdown dan Ausgangssperre yang sama, namun seorang pemungut sampah toh tetap terlihat tenang memburu sampah-sampah hampir di setiap lorong dan jalan di kota Mainz.
Tampak Covid-19 tidak sedikit pun menyulut niatnya untuk berpacu dalam mendukung ekonomi keluarganya. Ya, terasa sekali bahwa ia "mati rasa" terhadap situasi yang sedang terjadi. Hal seperti itu bukan cuma di Jerman, tetapi juga di hampir semua pelosok desa di Indonesia. Saya pernah mendengar kisah harus di Malang Selatan.
Seluruh warga kampung tidak mau isolasi di rumah sakit hanya karena mereka mau tetap bertaruh hidup mengurus ternak dan kebun mereka, meskipun mereka tahu bahwa Covid-19 itu berbahaya. Mereka bahkan kompak tidak mau memberitahukan hal itu kepada pemerintah terdekat, bahkan ada juga yang sudah sembuh baru ketahuan pernah terpapar covid.
Kisah mati rasa seperti itu sekali lagi terjadi karena tekanan ekonomi. Coba bayangkan saja, jika pada masa krisis covid ini sama sekali tidak ada sumbangan dan bantuan pemerintah, bagaimana rakyat bisa hidup? Taruhan hidup akan lebih dipilih daripada ketakutan akan kematian. Lagi-lagi, sebagian orang akan terlihat bertindak mati rasa terhadap situasi krisis covid.
4. Mati rasa lahir karena terlalu sering mendengar dan melihat orang-orang mati
Berita tentang kematian teman, sahabat dan sanak saudara serta kaum keluarga kita akhir-akhir ini sudah hampir menjadi berita yang bukan berita baru lagi, yang bisa dibaca, didengar hampir di semua negara dan di semua media sosial. Keseringan itu, telah meninggalkan pesona rasa di hati manusia bahwa bahwa kematian manusia saat ini hampir semuanya dianggap kematian yang normal.
Bahkan orang tidak peduli dengan fenomena meningkat secara drastisnya angka kematian di hampir semua negara. Keseringan mendengar akhirnya menciptakan keadaan manusia yang Punya telinga tetapi tidak mendengar. Keseringan melihat akhirnya menyeret manusia saat ini sebagai orang-orang yang punya mata, tetapi tidak bisa melihat.
Keseringan berbicara tentang hal yang sama, akhirnya pesan dan isyarat untuk kehidupan dianggap bual. Keseringan mencium bau-bau bangkai Kematian yang tidak bisa lagi diperhatikan sanak saudara dan kaum keluarga, hingga manusia tampak seperti tidak punya indera untuk mencium rasa duka, perhatian dan kasih sayang.
Paradigma kembali ke alam: Jauh dari manusia, namun boleh dekat dengan lingkungan alam
Mungkinkah krisis Covid-19 ini sebagai momen perubahan paradigma tentang hubungan manusia dengan alam ini? Kenyataan menunjukkan bahwa pembatasan hubungan hanya berlaku antara manusia dan bukan untuk konteks hubungan manusia dengan lingkungan alam.
Hubungan baru antara manusia dengan alam saat ini tanpa perlu pembatasan jarak (Abstand) yang secara tidak langsung berbanding terbalik dengan konteks ketidakpedulian sebagian orang terhadap lingkungan alam pada masa sebelum krisis. Ya, sebelum krisis covid, tema yang paling hangat adalah krisis ekologis, kerusakan alam dan lingkungan.
Bahkan orang bisa merasakan bahwa manusia selalu punya jarak dengan alam. Kompromi politik dan jaringan kerja sama antar manusia bisa saja mendatangkan bentuk-bentuk eksploitasi terhadap lingkungan alam. Nah, saat ini terlihat secara otomatis manusia menjadi tidak berdaya selain menjalin hubungan dengan alam, sebagai hubungan yang paling aman dan tidak membahayakan dirinya.
Kompromi antar manusia? Mungkin harus hati-hati karena misteri Covid-19 selalu menjadi hantu yang tidak bersahabat dan tidak mengenal ampun dan kompromi. Demikian beberapa alasan yang menjadi latar belakang lahirnya generasi mati rasa di masa pandemi ini dan juga mencuatnya paradigma baru yang membawa manusia untuk mengkritisi hubungan dengan sesamanya di satu sisi, dan kembali ke hubungan akrab tanpa batas dan jarak dengan lingkungan alam.
Salam berbagi, Ino, 11.07.2021