Senin, 9 November 2020 Komisariat Karmel Indonesia Timur mengikuti Retret yang diberikan oleh P. Dr. Lukas Djua, SVD di Rumat Retret Nabi Elia Mageria. Sesi Retret yang diberikan pada sore hari itu bertemakan „Persaudaraan yang interkultural.“ Dasar dari refleksi tentang persaudaraan yang interkultural adalah pengalaman perjumpaan Yesus dengan orang lain. Dasar biblisnya adalah Matius 8:5-13 tentang Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira di Kapernaum.
Poin refleksi yang penting adalah permintaan bantuan itu datang dari orang Romawi yang adalah penjajah. Mengapa Yesus sebagai orang Yahudi mau menolong? Di satu sisi ada kerendahan hati dalam meminta bantuan, sementara itu dari pihak Yesus memiliki cara pandang yang beda: Ia melihat hati dan bukan masa lalu. Hal yang mau digaris bawahi adalah gagasan tentang Kerajaan Allah. Kerajaan Allah tidak terbatas pada orang Yahudi, tetapi juga untuk orang-orang yang bukan Yahudi.
Dasar dari gagasan persaudaraan yang interkultural lainnya adalah kisah tentang perempuan Kanaan yang percaya dalam Matius 15:21-28. Sorotan refleksi yang menarik adalah refleksi kaum feminis yang melihat pertama-tama bahwa Yesus seolah-olah menganggap rendah seorang perempuan Kanaan. Namun kemudian perspektif itu dibalik, Yesus justeru disadarkan oleh jawaban perempuan Kanaan dalam dialog mereka. Apa yang terhina di kalangan orang Yahudi bisa jadi adalah sesuatu yang sangat berarti bagi orang lain secara khusus dalam konteks budaya mereka masing-masing. Yesus disadarkan oleh referensi budaya dari jawaban perempuan Kanaan itu.
Selanjutnya Pater Lukas menggarisbawahi lagi refleksi tentang Persaudaraan Interkultural itu dengan dasar biblis dari 1 Kor 12:1-31. Persaudaraan yang interkultural itu merupakan tema teologis yang tentu juga sudah dibicarakan dalam Sacramentum Mundi atau Sakramen untuk dunia. Dimaksudkan bahwa persaudaraan tidak hanya sebagai sebuah cita-cita tetapi sebagai suatu tanda kelihatan Kerajaan Allah di tengah dunia. Sorotan utama dasar biblis di atas adalah berkaitan dengan kesatuan dalam perbedaan. Kemampuan untuk menghayati kesatuan ini adalah tanda bahwa Roh Kudus berkarya dalam diri kita. Secara lebih konkret kita bisa menyadari bahwa Roh Kudus itu ada dalam diri kita ketika kita mendaraskan Credo tanpa masalah, menyapa Tuhan dengan penuh keyakinan. Karya Roh Kudus itu bisa terlihat dari tujuan karya-karya kita: Karya persaudaraan mesti terarah kepada kepentingan bersama, selain daripada itu, maka harus diragukan. Roh Kudus itulah yang mempersatukan kita yang berbeda-beda. Meskipun demikian kita punya tantangan yakni kebebasan yang kita miliki. Allah memberi kita kebebasan karena Allah kita sama sekali tidak otoriter. Kebebasan kita mesti digunakan untuk mendukung tujuan bersama.
Pertanyaan yang menggelitik di akhir permenungan itu adalah bagaimana sikap kita terhadap yang lain? Dendam dan kemarahan itu sama dengan memberikan kesempatan kepada setan dan bukan kepada karya Roh Kudus.
Rm. Ino, O.Carm