P. Fandi Wutun, O. Carm
Menjalankan praktik diakon dalam situasi covid-19 memiliki kisah yang tidak kalah menarik. Saya ditahbiskan menjadi diakon pada 09 Agustus 2020 bersama tiga saudara lainnya dalam situasi covid-19 tanpa kehadiran orang tua, keluarga, sahabat dan handai taulan. Pengalaman tersebut memberikan sebuah kesan tersendiri di hati saya. Satu refleksi menarik yang bisa saya renungan adalah bahwa ternyata setiap rahmat dari Tuhan yang saya terima tidak harus disyukuri dengan pesta berlebihan dan suasana riuh. Dalam keheningan dan kelompok kecil (persaudaraan Karmel), suasana bahagia dan syukur itu masih bisa dinikmati. Dan lebih dari itu, saya bisa belajar solider dengan saudara-saudari lain yang sedang menderita dan terancam oleh wabah virus ini. Justru sebenarnya dalam keheningan dan kelompok kecil itu saya makin menegaskan diri sebagai seorang Karmelit dan pencinta Maria yang senantiasa bersyukur termasuk di dalam situasi kelam sekalipun.
Setelah mendapatkan Surat Keputusan (SK) penugasan, saya berangkat menuju ke tempat praktik di Paroki Habibola pada tanggal 13 Agustus 2020 dihantar oleh Rm. Ardin, O. Carm dan Rm. Aldo Doi, O. Carm. Ketika tiba dalam suasana sederhana dan new normal, saya disambut oleh salah seorang umat dengan huler wair (ritual adat umumnya di maumere untuk menerima tamu) yang pada waktu itu kebetulan sedang mempersiapkan liturgi untuk perayaan pemberkatan nikah esok harinya. Paroki St. F. X. Habibola bukan merupakan tempat yang baru bagi saya karena sudah beberapa kali saya menjalankan asistensi Natal, Tahun Baru maupun Pekan Suci di paroki ini. Banyak stasi yang sudah saya kunjungi sehingga tidak sulit bagi saya untuk menjalin relasi dan persaudaraan dengan umat.
Setelah tiba dan membereskan semuanya, saya langsung mendapatkan tugas perdana dari Pastor Paroki, Rm. Kristo, O. Carm yakni untuk melayani sakramen pembaptisan dan perkawinan pada esok harinya 14 Agustus 2020 bersama Pastor Rekan, Rm. Patrick, O. Carm. Kemudian sorenya saya langsung diberi kesempatan untuk ambil bagian dalam perayaan misa Requiem dan menjadi pemimpin ibadat penguburan. Walaupun dalam situasi Covid-19 dan masih berlakunya protokol kesehatan, semuanya itu tidak menciutkan semangat saya untuk memulai pelayanan-pelayanan perdana saya. Saya menerima tugas dan tanggung jawab itu dengan senang hati dan penuh semangat. Baru tiba langsung bisa melakukan beberapa jenis pelayanan sekaligus. Dengan banyak bertanya dan berdasarkan beberapa sumber buku pedoman yang ada, saya berusaha membuat latihan-latihan kecil secara pribadi di kamar. Ketika saatnya tiba, saya melakukan pelayanan yang menjadi bagian saya dengan baik. Dan syukurlah bahwa Rm. Patrick memberikan kepada saya kesempatan yang memang merupakan bagian pelayanan yang bisa diberikan oleh seorang diakon. Betapa bahagianya saya hari itu ketika bisa ikut ambil bagian menjadi saksi pernikahan suci satu pasang nikah dan juga langsung membaptis kedua anak mereka serta memimpin ibadat penguburan pada sore harinya.
Hari-hari selanjutnya intensitas pelayanan saya ternyata tidak sebanyak hari hari awal. Pelayanan sakramen baik itu pernikahan, pembaptisan tidak pernah terjadi lagi sejak hari itu. Sementara intensitas pelayanan penguburan terus meningkat. Pandemi virus corona ini tentunya membingungkan dan juga menakutkan bukan hanya orang-orang di perkotaan sana melainkan juga bagi orang-orang di kampung, termasuk di Habibola apalagi stereotip kematian yang selalu dihubungkan dengan virus corona. Kadang ada rasa curiga dan takut dalam membangun relasi ketika ada permintaan pelayanan tersebut. Misalnya ketika ada permintaan penguburan, saya selalu bertanya apa penyebabnya meninggal? apakah karena sakit atau ada penyebab lain? dan berbagai pertanyaan lainnya selalu terlintas sambil tetap mempertahankan rasa tenang dan harapan dalam batin. Sedangkan pelayanan setiap hari Minggu selalu berjalan sebagaimana biasanya walaupun disana-sini banyak umat yang tidak terlibat aktif dalam perayaan-perayaan tersebut tetapi saya tidak putus asa. Khotbah selalu saya siapkan dengan baik, secara tertulis dan diketik rapi, latihan-latihan selalu saya dahului sebelum memulai pelayanan. Pelayanan lainnya yang saya lakukan selama menjalankan praktek pastoral di tempat ini adalah pelayanan penerimaan sakramen mahakudus untuk orang sakit dan lansia, serta kunjungan kunjungan umat walaupun tidak semua stasi dapat saya kunjungi. Semua pelayanan itu saya lakukan di tengah situasi covid dengan mengikuti protokol kesehatan yang berlaku. Ketika memasuki bulan terakhir pelayanan saya, yakni bulan Oktober ternyata situasi covid-19 di Kab. Sikka ini mulai memasuki zona merah kembali.
Namun saya menyaksikan bahwa di tengah pandemi tersebut, kerinduan umat tetap terpelihara untuk bertemu Tuhan walaupun disana sini ada juga umat yang masa bodoh dan tinggal di dalam ketakutannya. Sebagai para pelayan pastoral pun kami di Paroki Habibola tidak pernah mengabaikan setiap pelayanan yang bisa kami berikan kepada umat untuk menguatkan mereka. Pemberitaan media di sana sini yang menghebohkan dunia termasuk Indonesia tentang penambahan jumlah kasus positif corona setiap harinya namun masih ada kelompok-kelompok kecil yang bertahan dan teguh dalam imannya termasuk yang saya alami di Paroki Habibola ini karena umat sekalian dan juga saya sendiri percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Kiranya masa-masa ini menjadi momen pengingat bagi kita bahwa dalam masa terkelam sekalipun, harapan tetap ada. Tuhan kita adalah setia, Dia tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan Nya.