Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Bila ingin pandai dan bijaksana, berkumpullah dengan dua golongan orang itu. Tetapi berada di tengah mereka belum tentu otomatis membuat orang jadi pandai dan bijaksana.
Ada prosesnya. Salah satu langkahnya adalah mau belajar. Proses itu akan cepat berhasil jika orang mau bertanya. Malu bertanya menghambat orang jadi pandai dan bijaksana. Berikut ini contohnya.
Sang Guru Kehidupan mengajar para murid-Nya tentang hal yang akan menimpa Diri-Nya. Hal itulah yang menjiwai misi perutusan-Nya. "Dengarlah dan camkanlah segala perkataan-Ku ini: 'Anak Manusia akan diserahkan ke dalam tangan manusia.' Mereka tidak mengerti perkataan itu, sebab artinya tersembunyi bagi mereka, sehingga mereka tidak dapat memahaminya. Dan mereka tidak berani menanyakan arti perkataan itu kepada-Nya" (Luk 9: 44-45).
Kini ada banyak murid dan mahasiswa yang diam saja saat tidak mengerti penjelasan guru atau dosennya. Mereka bilang, "Diam itu emas." "Mbèlgèdhès!" Ngibul!
Sebagian generasi tua yang gagap teknologi juga malu bertanya kepada anak cucu. Mengapa? Teringat sindiran Jawa: "Kebo nusu gudel" alias kerbau tua menyusu pada anak atau cucunya. Malu dong!
Sebenarnya, mereka yang ingin maju dan berkembang kini dapat belajar secara mandiri. Banyak informasi dan ilmu pengetahuan bisa dicari sendiri. Minimal bertanya kepada "Mbah Google." Siapa yang telah memanfaatkan berkah ini secara maksimal untuk mengembangkan hidupnya?
Hidup rohani (spiritualitas-keagamaan) juga perlu dikembangkan. Di sana orang butuh bimbingan Tuhan. Mesti rajin bertanya kepada-Nya tentang kehidupan iman. Sang Pembimbing bisa ditemui dan didengarkan setiap waktu; dua puluh empat kali tujuh (24 x 7).
Termasuk orang yang suka bertanyakah aku? Apakah aku ini tergolong anggota komunitas "Diam itu emas" atau "Kebo nusu gudel"? Kalau malu bertanya, bagaimana bisa maju?
Sabtu, 25 September 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.