Suara Keheningan I RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Belum lama Pedro Fernandez menjadi pengikut Sang Guru Kehidupan. Dia amat bersemangat setelah bertobat. Lebih-lebih setelah bergabung dengan salah satu gerakan doa di parokinya.
Bersama dengan beberapa anak muda lain dari gerakan itu ia berkeliling dari rumah ke rumah. Mengajari orang bagaimana semestinya hidup sebagai pengikut Tuhan.
Semangat mereka dalam membaca Kitab Suci harus diakui. Memang, setiap orang yang bergabung dalam gerakan itu diwajibkan membaca Kitab Suci tiap hari.
Sekali seminggu mereka bertemu. Di samping membaca Kitab Suci, mereka berbagi pengalaman. "Sharing" iman. Karena itu, mereka fasih membaca dan berbicara.
Sejak Pedro bergabung di lingkunganku, sebagian warga agak resah. Pasalnya, banyak yang merasa dihakimi.
"Kenapa warga lingkungan ini tidak membaca Kitab Suci?" Demikian katanya pada suatu pendalaman iman. "Bukankah tidak membaca Kitab Suci sama dengan tidak mengenal Sang Guru?"
Beberapa orang seperti "minder" waktu pendalaman iman. Sementara Pedro lancar membaca dan menjelaskan isi Kitab Suci, mereka yang sudah lebih lama dibaptis pada diam saja.
Lama kelamaan Pedro seperti mendominasi. Bersama gerakannya seakan menggusur para sesepuh yang sudah ditunjuk pastor paroki.
Kontribusi gerakannya layak diapresiasi. Tetapi tindakan mereka kadang seperti lepas kendali. Di mana-mana cenderung menggurui. Sulit mendengarkan. Sering merasa lebih suci.
Setan memang telah merampas harta terbaik manusia, yaitu kerendahan hati.
Mereka tidak lagi menjadi murid, tetapi berlagak sebagai guru. Tidak sadar menjadikan diri ukuran. Sulit merefleksi diri.
"Mengapakah engkau melihat selumbar di dalam mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu sendiri tidak engkau ketahui?" Demikian kata Sang Guru.
Betapa sulitnya menjadi pengikut Tuhan. Terutama menempatkan diri sebagai murid. Lebih-lebih di zaman instan ini.
Banyak yang cepat-cepat ingin memetik hasil. Meninggalkan proses. Secara tak sadar, jadi orang yang buta.
"Dapatkah orang buta menuntun orang buta? Bukankah keduanya akan jatuh ke dalam lobang?"
Menjadi murid saja sulit sekali; apalagi jadi guru. Yang suka menggurui itu biasanya malah bukan benar-benar guru.
"Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, tetapi barangsiapa yang telah tamat pelajarannya akan sama dengan gurunya."
Pertanyaannya, kapan orang boleh mengaku diri sebagai murid yang sudah tamat? Bukankah dalam beriman setiap orang masih jatuh bangun dan terus-menerus perlu belajar menjadi murid?
Jumat, 10 September 2021 I RP Albertus Herwanta, O. Carm.