Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Injil Minggu Prapaskah I berbicara tentang pencobaan Yesus di padang gurun. Renungan hari Minggu lalu menyebut bahwa di balik pencobaan terdapat kekuatan transformatif. Injil hari ini berbicara tentang kemuliaan Yesus yang tampak dalam transfigurasi. Dari pencobaan menuju kemuliaan.
Delapan hari sesudah pengajaran itu, demikian Injil Lukas menceritakan, Yesus membawa Petrus, Yohanes, dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa (Lukas 9:28). Apa yang Yesus baru ajarkan? Bahwa Putera Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala, dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga (Lukas 9:22).
Inilah pencobaan terberat Yesus yang menggoncang para murid-Nya. Karena itu, Yesus perlu mewahyukan kepada mereka tentang identitas ilahi-Nya. Harapannya para murid memahami dan memperoleh keberanian untuk mengikuti-Nya; berjalan dari pencobaan menuju kemuliaan.
Bagaimana faktanya? Ketika Yesus tampak dalam kemuliaan-Nya dan berbicara dengan Musa dan Elia tentang kepergian-Nya ke Yerusalem (Lukas 9:31), para murid-Nya itu tertidur (Lukas 9:32). Saat terbangun mereka melihat Musa dan Elia yang hendak meninggalkan Yesus.
Petrus berkata, "Guru, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Baiklah kami dirikan sekarang tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan untuk Elia" (Lukas 9:33). Mengapa Petrus mengatakan hal itu?
Pertama, Petrus mengalami betapa bahagianya berada bersama Yesus dalam kemuliaan-Nya. Dia ingin berada di sana dan tidak mau pergi. Kedua, dia tidak mendengar percakapan Yesus dengan Musa dan Elia tentang kepergian-Nya ke Yerusalem untuk menggenapi misi-Nya, karena dia tertidur.
Untuk kedua kalinya Petrus mengungkapkan perasaan yang menyenangkan dirinya dan menghalangi perjalanan dan misi gurunya. Yesus harus menderita, tetapi Petrus menolak jalan itu. Yesus mesti berjalan ke Yerusalem, sedangkan Petrus ingin tinggal di sana. Mungkin Petrus ini pendukung "dwelling spirituality" daripada "journeying spirituality."
Kita sering memiliki mental serupa, yakni ingin mengikuti Yesus hanya ketika merasakan nikmat dan rahmatnya, tetapi menolak berjalan dan menderita bersama-Nya. Berapa dari kita yang mengeluh atau merasa bosan karena liturgi kita tidak menarik, tetapi menolak berpartisipasi dalam membuatnya berkualitas seperti seharusnya?
Yesus mengundang kita untuk mengalami kemuliaan-Nya. Kita akan mengalaminya, baik di dunia ini maupun kelak dalam kehidupan. Bukankah itu doa dan harapan kita? Bukankah merayakan Ekaristi berarti naik ke puncak gunung Kalvari bersama Yesus yang menyempurnakan perjalanan-Nya ke Yerusalem? Apakah kita bertekun bersama Yesus dalam pencobaan yang kita hadapi hingga kelak kita boleh mengambil bagian dalam kemuliaan-Nya? Mari berjalan bersama Yesus dari pencobaan menuju kemuliaan!
Minggu, 16 Maret 2025HWDSF