Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Dini hari tadi, sambil menulis renungan pagi, aku melemparkan pandangan ke laut biru yang terhampar di belakang kamarku. Pemandangan indah itu tampak lebih agung dan mengagumkan tatkala diletakkan pada latar belakang bukit-bukit hijau di kejauhan serta langit warna-warni yang menghiasi cakrawala.
Semua itu tampak sebagai karya seni tingkat tinggi. Seni lukis mengungkapkan keagungan pelukis dan objek yang dilukisnya. Kali ini, lukisan yang aku nikmati amat istimewa.
Pertama, pelukisnya menggoreskan garis-garis seni bukan di atas kanvas biasa. Bukan kanvas dari kain, tembok, kayu atau kertas. Kanvasnya imajiner yang tidak ada tapi sekaligus ada. Orang tidak dapat merabanya, namun dapat melihat lukisan atasnya.
Kedua, sebagaimana semua pelukis, Sang Pelukis Agung juga memerlukan kanvas.
Namun, kanvas itu berubah setiap saat. Demikian pun lukisan, hasil karya-Nya. Gumpalan awan yang berwarna-warni terus menerus berganti.
Ketiga, warna warni yang dikombinasi sungguh asli; bukan imitasi. Tidak seorang seniman pun sanggup mencampur warna serupa itu. Bukankah hasil karya pelukis nomor satu di dunia pun tetap hanya menyajikan kombinasi warna tidak asli?
Keempat, lukisan yang terpantul dalam alam itu tak henti-hentinya berseru; tidak diam.
Dari pagi hingga pagi mereka memuliakan nama Tuhan, Sang Pelukis ilahi (Mazmur 19). Tiada suara, namun gemanya sampai ke ujung dunia.
Kelima, karya seni itu melampaui materi yang menantangku untuk memandang dan menemukan makna di balik karya ciptaan. Semua itu tidak sekadar memuaskan penglihatan, melainkan membawaku masuk ke wilayah iman.
Singkatnya, untuk menemukan Tuhan, orang tidak harus mencari lewat proses akal budi dan kajian teologi tingkat tinggi. Dengan membuka mata dan hati orang bisa sampai pada Sang Ilahi yang setiap saat melukis pada kanvas sang pelukis agung.
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Senin 3 Juli, 2023AlherwantaRenalam 182/23