Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Siapa yang belum pernah dengar KISS? Dalam pemahaman yang paling sederhana, KISS berarti mempertemukan dua bibir. Yang lebih "simple" cium kening. Bisa pula berarti cium pipi kanan dan cium pipi kiri (cipika-cipiki).
Dunia politik pun memerlukan KISS. Dalam kampanye, yang kayaknya sudah dimulai, orang dituntut bisa KISS. Ini bukan cipika-cipiki antar ketua umum partai politik atau antara ketua umum partai dan bakal capres serta cawapres. Tetapi soal kemampuan berbicara di muka umum.
Indonesia sedang memasuki babak baru di dunia politik, khususnya dalam metode dan cara berkampanye. Menghadapi pemilih yang mayoritas generasi millenial dan Z, para calon pemimpin tidak cukup hanya menebar janji.
Kampanye berisi janji-janji yang serba gratis "dilabrak" pemikiran kritis. Orang mulai sadar bahwa janji-janji gratis itu berujung pada rasa kecewa alias meringis; atau malah berakhir pada ratap tangis.
Panggung politik menuntut mereka yang mau tampil di sana bisa membawa dan mampu menjelaskan gagasan-gagasan yang menjamin bangsa dan negara lebih sejahtera di masa depan. Mereka mesti meyakinkan pendengar lewat pelbagai paparan.
Gagasan atau ide lahir dari akal budi dan berdaya guna ketika direalisasi. Namun pandai memaparkan gagasan bukan cermin kemampuan mengeksekusi. Rekam jejak bisa digunakan sebagai dasar untuk menduga dan memprediksi.
Ada calon yang tampil begitu meyakinkan. Mengapa? Sederhana. Juga, karena dia memiliki pengetahuan, wawasan, dan pengalaman. Dia memaparkan gagasan yang didukung data dan praktik di lapangan. Data, angka, dan fakta mendukung presentasinya.
Sedang yang lain masih melanjutkan budaya lama, yakni komunikasi merangkai kata-kata. Konsepnya tidak selalu jelas dan argumennya berputar-putar, membuat bingung pendengar. Rupanya, masih perlu belajar budaya KISS alias "Keep It Simple Stupid!"
Salam dan Tuhan berkati.
Rabu, 20 September 2023AlherwantaRenalam 257/23