Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
"Dari mana datangnya lintah; dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta dari mata turun ke hati." Rupanya, mata dan hati terhubung erat; saling memengaruhi. Suasana dan kualitas hati menentukan apa dan bagaimana mata melihat. Yang dilihat pun bisa membekas di hati.
Hati yang bebal dan rendah kualitasnya membuat orang mengejar yang kosong dan sia-sia. Misalnya, memandang diri dengan mata hati yang sombong. Suka membual, "boast" (bhs Inggrisnya); "ndobos" (bhs Jawanya). Memegahkan yang duniawi dan jasmani. Bangga pada hal remeh dan tak berisi. Kesombongan, contohnya.
Rasul Agung juga bermegah secara duniawi tatkala menyaksikan orang-orang lain membanggakan status dan prestasi duniawi. Namun menegaskan bahwa dia bermegah atas kelemahannya. Dalam kelemahannya dia menemukan kekuatan Tuhan. Karena itu, dia tidak menyombongkan diri.
Sang Guru Kehidupan mengajarkan tentang melihat. "Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu. Jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu" (Mat 6: 22-23).
Orang melihat bukan hanya dengan mata kepala, tetapi juga dengan wawasan dan hatinya. Yang sempit wawasannya melihat secara amat terbatas. Hati yang baik mudah melihat keindahan hidup. Sedangkan hati yang jahat cepat memandang keburukan dan kegelapan. Hidup di luar sana tampak hitam.
Berhubung hati itu menentukan mata dalam melihat, betapa pentingnya mengisi dan membentuknya dengan keutamaan seperti kasih, iman, pengharapan, kebaikan, kejujuran, keberanian, dan nilai-nilai mulia lainnya. Ini membutuhkan waktu lama dan kemauan yang besar.
Cinta memang bisa turun dari mata ke hati. Penglihatan kita ditentukan oleh hati. Bak lampu hatilah yang menerangi mata dalam melihat. Mereka yang menyediakan hatinya sebagai tempat Tuhan bertahta akan memandang hidup ini dengan mata hati ilahi.
Jumat, 18 Juni 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.