Suara Keheningan |RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Makna diri menyemangati hidup seseorang. Orang yang memiliki dan merasakan makna dalam hidup lebih bersemangat menjalaninya daripada yang tidak punya.
Makna hidup itu bisa ditemukan dalam banyak hal. Ada yang merasa bahwa hidupnya bermakna ketika dia kaya. Hidupnya lebih sejahtera dari orang lain. Benar, hidup sejahtera itu nilai yang perlu disyukuri.
Sebagian orang merasa hidupnya bermakna, karena memiliki pekerjaan atau jabatan penting dalam masyarakat. Kerja itu memiliki nilai mulia. Di sana, orang bisa mengaktualisasikan diri, memberi kontribusi kepada masyarakat, dan mendapat penghasilan yang menghidupi diri dan keluarganya.
Ada pula orang yang memperoleh makna hidup dalam sukses yang diraihnya. Keberhasilan memang layak dibanggakan. Bukankah tidak semua orang bisa sukses; dan meraih sukses biasanya menuntut perjuangan? Jadi, sukses itu bernilai dan layak diapresiasi.
Namun, ketika orang mendasarkan makna hidupnya pada hal-hal di atas semata, hidupnya terancam bahaya. Bukankah harta, kerja, dan sukses bisa lenyap dalam sekejap? Ingatlah akan kisah Ayub yang dalam waktu singkat seluruh kekayaannya oleh setan "disikat" dan dia jatuh melarat.
Selalu ada kemungkinan orang kehilangan semua yang dimilikinya itu. Lalu, bagaimana orang mesti menghadapinya. Bisa saja orang jatuh ke dalam situasi yang buruk sekali. Hidupnya bagai kehilangan seluruh arti.
Dia bagaikan dicampakkan ke titik nol. Kekayaan tidak ada, pekerjaan tidak punya, dan sukses hanya mimpi belaka. Ketika menjabat, dia selalu dihormati dan diangkat. Setelah pensiun "stress"-nya bejibun.
Menyesali keadaan itu bisa jadi membuat hidupnya justru jauh tidak berarti. Lalu, apa yang mesti dilakukan? Pertama, menerima realita sebagai fakta dan tidak lari ke dunia mimpi. Ini tidak mudah. Kedua, dengan rendah hati dan penuh iman merangkulnya sebagai bagian hidup; ya, seperti merangkul titik nol.
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Rabu 29 Maret 2023AlherwantaRenalam 088/23