Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Semua masyarakat membutuhkan pemimpin. Apapun sistem masyarakatnya pemimpin itu berganti. Dalam negara demokrasi dilakukan lewat pemilihan umum.
Prosesnya kadang diwarnai persaingan yang keras antar calon. Ambisi mereka bisa mengkristal dalam diri para pendukungnya. Hal itu bisa menimbulkan konflik horizontal.
Di tengah masyarakat yang sedang mencari calon pemimpin, nasihat dari Kitab Kebijaksanaan menemukan relevansinya; terutama tentang tanggungjawab pembesar.
"Sebab dari Tuhanlah kamu diberi kekuasaan dan pemerintahan datang dari Yang Mahatinggi yang akan memeriksa segala pekerjaanmu serta menyelami rencanamu" (Keb 6: 3). Kekuasaan itu amanah.
Juga dikatakan, "Terhadap yang berkuasa akan diadakan pemeriksaan yang keras. Jadi perkataanku ini tertuju kepadamu, hai pembesar agar kamu belajar kebijaksanaan dan jangan sampai terjatuh" (Keb 6: 8-9).
Pemimpin mendapat banyak fasilitas, tetapi dituntut tanggungjawab. Pertama, dapat dipercaya. Kedua, melindungi dan membela kepentingan mereka yang dipimpinnya. Lebih mengutamakan yang dilayani dari pada diri atau kelompoknya sendiri.
Untuk itu mekanismenya perlu diciptakan. Larangan gratifikasi dan korupsi bagi para pejabat pemerintah, misalnya. Surat Keputusan Menteri Pendidikan menyangkut perlindungan bagi para mahasiswa dari penyalahgunaan oleh pejabat kampus dan dosen berfungsi sama.
Tidak mudah menegakkan aturan bagi para pemimpin dan pembesar. Lebih-lebih ketika sistemnya memihak kepada orang kuat dan berkuasa. Tanpa hukum dan mekanisme yang jelas dan tegas rakyat dan mereka yang dilayani rentan jadi korban.
Para pemimpin dan pembesar yang melanggar akan berhadapan dengan hukum positif. Juga tindakan keras dari Yang Mahakuasa. Karenanya, kebijaksanaan amat diperlukan bagi pemimpin yang amanah.
Rabu, 10 November 2021 | PW Santo Leo Agung, Paus | RP Albertus Herwanta, O. Carm.