Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Bagi orang yang bakatnya cerewet, diam bisa menyiksa. Aneh rasanya; seperti mati. Meski demikian, diam itu diperlukan. "Diam itu emas" kata sebagian orang. Tentu, ungkapan itu harus diletakkan dalam konteks yang benar. Menghadapi ketidakadilan orang tidak boleh diam.
Tatkala orang sedang mengadakan latihan rohani seperti retret atau rekoleksi, orang dianjurkan untuk diam. Artinya, tidak bicara dengan sesama atau orang yang berada di rumah retret.
Itulah yang aku alami lima hari terakhir. Di rumah retret itu, semua peserta mesti diam. Aturan utamanya bukan hanya tidak boleh bicara, menerima telpon dan menelpon pun tidak diperbolehkan. Semua bunyi mesti dihindari. Komunikasi hanya lewat WA.
Meja makannya diberi penyekat, sehingga yang sedang makan tidak bisa saling melihat. Semua "self-service" mulai mengambil makanan-minuman sampai mencuci peralatan makan-minum dikerjakan sendiri. Tanpa bicara dengan yang lain.
Aku sangat menikmati retret itu. Di samping menjadi variasi acara dalam hidup, aku dapat mengisi diri secara rohani. Lima hari terasa cepat sekali. Badan dan jiwa terasa segar kembali.
Masyarakat yang sangat lekat dengan "gadget" dan pelbagai alat audio visual elektronik lainnya bagai tenggelam dalam suara-suara hiruk pikuk yang tak henti-hentinya memenuhi telinga dan mata. Mereka seperti lupa akan pentingnya diam.
Sesungguhnya, diam itu memperkaya hidup kita. Elisabeth Kubler Ross, seorang psikiater berkata, "Learn to get in touch with silence within yourself, and know that everything in life has purpose.There are mistakes, no coincidences, all events are blessings given to us to learn."
Belajarlah bersentuhan dengan keheningan yang ada di dalam dirimu dan ketahuilah bahwa segala sesuatu dalam kehidupan ini memiliki tujuan. Tidak ada kesalahan, kebetulan, semua kejadian adalah berkat yang diberikan kepada kita agar kita belajar dari semua itu.
Salam dan Tuhan menberkati.
Jumat, 6 Januari 2023 AlherwantaRenalam ke 006/23