Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Pernahkah kita merasa sudah cukup berbuat baik, sudah cukup rajin berdoa, sudah cukup memberi sedekah—lalu dalam hati kecil kita terbersit bisikan, Aku sudah cukup benar di hadapan Tuhan? Atau sebaliknya, pernahkah kita merasa begitu berdosa hingga ragu apakah Tuhan masih sudi menatap kita?
Hari ini, firman Tuhan membawa kita ke dalam renungan mendalam tentang makna pertobatan yang sejati. Nabi Hosea menegur umat Israel yang mengira bahwa cukup dengan mengucapkan kata-kata tobat yang indah, maka Tuhan pasti akan berbelas kasih. Mereka berkata, "Mari kita kembali kepada Tuhan! Ia telah menerkam, tetapi akan menyembuhkan kita."
Namun, Tuhan tidak tertipu oleh lisan yang manis tapi hati yang tetap keras. Ia menghendaki kasih dan kesetiaan, bukan sekadar ritual.Tuhan tidak mencari orang yang pandai berbicara tentang dosa, tetapi orang yang benar-benar meninggalkannya. Ia tidak menghendaki air mata buaya di altar, melainkan hati yang remuk dan berserah. Sebab bagi-Nya, pertobatan bukanlah lagu yang dinyanyikan, bukan kata-kata yang dihafalkan, melainkan laku hidup yang berubah.
Lalu, Injil membawa kita pada sebuah perumpamaan yang tajam. Dua orang datang ke Bait Allah untuk berdoa. Yang pertama adalah seorang Farisi, yang penuh percaya diri menyebutkan amal ibadahnya: puasa dua kali seminggu, memberikan sepersepuluh dari segala miliknya. Namun, tanpa ia sadari, doanya lebih seperti laporan prestasi. Di hadapan Tuhan, ia berdiri tegap, bukan dalam kerendahan hati, melainkan dalam keyakinan bahwa dirinya lebih benar dibanding orang lain.Di sudut lain, seorang pemungut cukai berdiri jauh. Ia tidak berani mengangkat wajahnya. Dengan dada yang berdegup, ia hanya bisa memukul diri dan berbisik, "Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini."
Dan Tuhan memilih siapa yang pulang sebagai orang benar? Bukan si Farisi yang penuh perhitungan amal, melainkan si pemungut cukai yang sadar akan kelemahannya.Saudara-saudariku, kita diajak untuk merenung: dalam doa-doa kita, apakah kita lebih sering menjadi sang Farisi atau sang pemungut cukai? Apakah kita datang kepada Tuhan dengan daftar panjang kebaikan kita, ataukah kita datang dengan hati yang remuk dan rindu akan belas kasih-Nya?
Sering kali, kita merasa layak karena telah banyak berbuat baik, tapi tanpa sadar kita kehilangan kasih. Kita rajin memberi, tetapi dalam hati meremehkan mereka yang tak sebaik kita. Kita taat beribadah, tapi dalam keheningan hati kita diam-diam membanggakan diri lebih suci dibanding orang lain.Namun hari ini, Tuhan mengajarkan bahwa hanya mereka yang haus akan belas kasih-Nya yang akan dipuaskan. Hanya mereka yang mengakui kehancuran dirinya yang akan diangkat-Nya.
Mari kita tinggalkan kesombongan rohani. Datanglah kepada-Nya seperti seorang anak yang kembali kepada pelukan ayahnya, bukan dengan daftar kebaikan, tetapi dengan hati yang berkata: "Tuhan, tanpa Engkau, aku bukan siapa-siapa."Dan saat itu terjadi, saat kita benar-benar berserah, saat kita sungguh percaya bahwa hanya kasih karunia-Nya yang menyelamatkan, maka Tuhan akan memeluk kita dan berkata, "Pulanglah, anak-Ku. Kau telah diterima."Amin.