Suara Keheningan | RP. Yancen Wullo, O.Carm
Mungkin banyak orang tak tahu tentang deritamu. Aku pun demikian. Namun aku memiliki sedikit waktu untuk tahu sebelum matamu tertutup untuk selamanya. Saat itulah mataku melihatmu dan berusaha ikut merasakan betapa engkau menderita selama ini.
Kamu hebat dan sungguh luar biasa karena dalam deritamu kau tetap tersenyum di kala aku menghiburmu dengan kisah-kisah yang pernah kita lalui bersama. Itulah deretan kata-kata yang terungkap dari rasa yang cukup sederhana.
Kala itu aku mengalami saat-saat terakhir sebelum kepergian ibuku. Bagiku hidupmu adalah sebuah pergulatan melawan sakit dan derita. Di balik itu engkau ingin agar jasamu tak bisa dikenang dalam nama, namun terungkap dalam pelayanan kasih dari orang yang kau lahirkan dan kau besarkan dalam cinta.
Aku bersyukur telah lahir dari rahim seorang ibu. Rahim tempat aku pertama mengalami kehangatan cinta, rahim kehidupan yang menyimpan cukup banyak rahasia hati seorang ibu yang semuanya tak bisa ditebak oleh orang lain apalagi yang tak pernah lahir dari rahim ibuku.Beberapa kali hatiku tak tenang memikirkanmu.
Apakah engkau dirawat seperti dahulu engkau mempedulikan kami. Pertanyaan ini menggugahku untuk melakukan sesuatu yang berarti di hari-hari akhir hidupmu. Selain jarak yang jauh dan pekerjaan, aku hanya memiliki sedikit waktu untuk berpikir dan melayanimu dalam keterbatasanku. Namun semuanya itu akan kulakukan sebagai bukti ucapan terimakasih atas rahim yang telah menghadirkanku.
Aku bangga pada ibuku karena tak ada yang kurang dari segala pengorbanan di mataku. Yang kutemukan hanya ketulusan cinta saat membesarkan dan merawatku hingga aku bisa mandiri. Ibu sungguh luar biasa dalam hidupku namun terlalu kecil aku membalas budi baiknya.
Melihat wajah ibuku saja aku tak sanggup, bukan karena raut kesedihan yang ditunjukkan namun rasa bersalahku karena tak melakukan sedikit demi kebaikan dan rasa banggamu padaku. Selalu berpikir apa yang mesti kulakukan di sisa hari-hari hidup ibuku.
Bagiku ini bukan soal harta, uang dan kekayaan. Aku hanya ingin memiliki sedikit waktu untuk ada bersama. Aku ingin agar dalam deritanya, aku hadir untuk memberi semangat dan penghiburan agar ibu tahu bahwa sampai akhir hidupnya aku masih setia menyayanginya. Kami makan bersama, berdoa bersama, menonton dan bercanda dengan ceritera-ceritera lucu yang dahulu pernah kami dengar sebelum tidur malam.
Sungguh waktu ini berharga bagi ibuku.Walau demikian ibuku berpesan. Cukuplah waktumu bagiku. Aku sudah merasa bahagia memilikimu dan aku berharap kamu harus menjadi kebanggaan banyak orang. Lebih lanjut ibuku berkata: Tak perlu engkau menunggu hari kematianku, pulanglah dan kembali pada tugas pelayananmu, di sana banyak orang menunggu dan mengharapkan pelayananmu.
Rasanya terlalu kejam mendengar kata-kata ibuku saat aku baru menemaninya dalam sebuah kerinduan yang cukup lama. Ia ingin agar aku meninggalkanmu demi tugas yang jauh lebih mulia dari sekedar menjaganya.
Aku malah sebaliknya berpikir bahwa ibuku tak mungkin membiarkanku pergi sampai hari maut datang menjemputnya. Dan bagi semua ibu pasti berharap demikian, namu ibuku tentu memiliki maksud di balik kata-kata itu. Ia berharap aku harus pergi.Ini amanat ibuku. Setelah kurang lebih satu setengah bulan menemani, aku berpamitan pulang.
Hatiku bergejolak dan berat rasanya berpamitan saat itu. Bagaimana harus pergi meninggalkan ibu kesayangan kita saat kita tahu waktu kematiannya hampir tiba. Aku mengajak ibuku dan semua keluarga untuk berdoa. Aku juga menumpangkan tangan dan memberkati aku untuk terakhir kalinya.
Saat itulah Ibuku menangis dan mencium wajahku berulang kali sebagai tanda perpisahan kami untuk terakhir kalinya.Tak ada kata yang keluar dari bibirku. Aku hanya diam sambil memandang wajah ibuku. Dalam batinku terungkap rasa syukur memiliki ibu yang hebat, namun sesungguhnya aku sedang bergulat dengan keikhlasan ibuku membiarkan aku pergi meninggalkannya.
Di akhir semua ketulusan hati ibuku, terpancar sedikit senyuman dengan lambaian tangan mengantarku keluar dari rumah dan meninggalkan ibu dengan hati yang tenang. Doa ibu menyertai perjalananku.Entah kenapa pengalaman ini berat bagiku, susah untuk ku lupakan tetapi kepergian dari rumah tidak membuatku sedikit bersedih.
Malah sebaliknya aku merasa dikuatkan untuk menjadi seorang anak kebanggaan ibu. Aku belajar merelakan diri demi kebahagiaan ibu kelak. Ibu tak ingin hidupku terbebani olehnya. Baginya jauh lebih berharga jika aku mewujudkan impiannya untuk membahagiakan banyak orang.
Dan ini tentu harapan dari setiap ibu bagi orang yang keluar dari rahimnya. Dua bulan sejak kepulanganku dari rumah, sering aku berkomunikasi dengan ibuku. Ia sudah tak banyak bicara lagi. Dengan berkata apa adanya dia selalu memohon doa agar ia mengalami keringanan penderitaan dan mengalami sukacita jika Tuhan memanggilnya.
Ia mendengar ceritaku. Sewaktu ibuku mengangguk dan terseyum. Beberapa kali aku memandang wajahnya ketika video call, sekedar melambaikan tangan, aku mengganggunya. Ibuku membalasnya dengan penuh kelembutan. Ia ingin anaknya tetap sehat dan bahagia dalam tugas pelayanan.Beberapa hari sebelum ibuku meninggal, ia memanggil namaku. Sejak saat itulah ia tak bersuara lagi.
Ia diam seribu bahasa. Rupanya ibuku merasa cukup untuk menasihati kami anak-anaknya. Inilah waktu diam, waktu di mana kami harus mengucapkan maaf jika pernah melakukan kesalahan sambil berterima kasih untuk segala kebaikan yang telah kami terima. Inilah waktu untuk merelakan ibuku pergi dengan tenang.
Tepat pkl.12.00 waktu Indonesia timur, ibuku pergi untuk selama-lamanya. Ia menghembuskan nafasnya terakhir setelah aku selesai ibadat siang. Berita kematian datang, aku hanya diam dan menyerahkan ibuku pada kerahiman dan kasih Tuhan.
Ibuku telah pergi untuk selama-lamanya. Tepat hari Rabu, 03 November 2021, kami berkabung. Ibuku pergi meninggalkan tujuh anak, 21 cucu dan 6 cicit. Suatu generasi penerus yang besar. Ia datang sendiri, namun ia pergi meninggal warisan kehidupan yang tak punah oleh waktu.
Ia adalah pencipta generasi kehidupan yang terus ada sampai kapanpun.Inilah waktu yang dinantikan ibuku. Waktunya adalah kematian. Ia telah menang dalam kesabaran dan mencapai garis finish perjuangan. Di hari kematian ibuku, aku tak bisa berdiri disamping jenazahnya dan memberikan penghormatan terakhir bagi ibuku.
Jarak terlalu jauh untuk kembali, sementara hari pemakaman ibuku sehari setelah kematiannya. Ibuku pernah berpesan, jika saat kematianku tiba, biarkan saudara-saudamu yang mengurus dan mengantarku sampai ke tempat pemakaman. Tugasmu adalah mendoakanku agar bahagia di kehidupan abadi. Aku hanya mendengar tangisan perpisahan dari jarak jauh.
Aku melihat begitu banyak orang melayat dan menghantar ibu ke pemakaman. Rasa dukaku tak sebanding dengan kasih yang ditunjukkan begitu banyak orang yang datang mengantar ibuku. Mereka sungguh mengasihimu karena kesederhanaan hidupmu.
Dan inilah warisan berharga bagiku. Bukan soal panjang usiamu, tetapi bermakna hidupmu yang menjadi warisan berharga bagi orang yang mengasihimu. Dari ujung rindu kutitipkan untaian doa syukur atas jasamu. Terimakasih untuk kata serta teladanmu bagiku. Cintamu tumbuh dan berbuah bagi kami, sebab kasih ibu tak pernah mati sepanjang abad.