Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Bayangkan seorang lelaki muda, berjalan sendiri di jalanan Yerusalem yang berdebu. Wajahnya tidak menampakkan kemenangan, tapi keteguhan. Ia telah ditinggalkan oleh saudara-saudaranya sendiri. Ia telah ditolak oleh para imam, oleh para nabi palsu yang lebih suka kata manis daripada kebenaran yang getir. Dialah Yeremia, nabi tangis, nabi sunyi, nabi yang harus mengucapkan kebenaran kepada telinga-telinga yang sudah lama enggan mendengar. "Celakalah aku, ibu, bahwa engkau melahirkan aku," ratapnya. Kata-kata yang meledak dari hati yang lelah, namun tak menyerah.
Ia bukan nabi yang mencari panggung; ia nabi yang menggendong beban firman Tuhan dengan air mata. Di tengah pengkhianatan dan kesendirian, satu-satunya suara yang tetap ia dengar adalah bisikan lembut Sang Penebus: "Jangan takut… Aku menyertaimu." Kita pun seperti Yeremia, saudara-saudari terkasih. Mungkin kita pernah ditertawakan karena iman kita. Mungkin kebenaran yang kita perjuangkan membuat kita dijauhi. Mungkin, dalam malam-malam kita yang sunyi, kita bertanya: Apakah semua ini sia-sia? Apakah Tuhan benar-benar melihat?
Dan di situlah suara-Nya menyusup, seperti embun yang jatuh diam-diam:
"Aku tahu hati dan batinmu. Aku tidak pernah jauh. Aku tidak pernah tidur." Lalu, lihatlah Yesus. Ia berdiri di tengah keramaian perayaan Pondok Daun—hari yang penuh sukacita, musik, air yang diciduk dari kolam Siloam sebagai lambang berkat.
Tapi Yesus, dengan keberanian seorang yang tahu siapa dirinya, berseru:
"Barangsiapa haus, datanglah kepada-Ku! Barangsiapa percaya kepada-Ku, dari dalam hatinya akan mengalir aliran air hidup." Bukan hanya air biasa, bukan hanya janji manis di permukaan. Tapi air hidup—roh, kasih, dan penghiburan sejati yang menyentuh kehausan terdalam jiwa manusia. Mengapa Dia berseru? Karena Ia tahu bahwa di balik senyum di perayaan itu, ada hati-hati yang kerontang. Ada orang-orang yang tertawa di luar, tapi menangis di dalam. Seperti kita. Seperti aku dan kamu—yang mungkin lelah menjadi kuat, lelah berpura-pura baik-baik saja. Hari ini, Tuhan tidak menuntut kita untuk menjadi sempurna.
Ia tidak menunggu kita datang dengan kekuatan, tapi dengan kehausan.
Ia tidak menolak ratap seperti Yeremia, bahkan Ia memahami air mata yang tidak sempat tumpah. Yesus adalah jawaban dari doa-doa lirih itu. Ia adalah air hidup yang mengalir bahkan saat semua pintu tampak tertutup. Ia adalah kebenaran yang tak dapat dibungkam oleh opini publik. Ia adalah hadir-Nya yang setia, saat dunia pergi menjauh.
Saudara-saudariku, mungkin kau merasa seperti Yeremia—tak dimengerti, sendiri dalam panggilanmu. Tapi jangan padam. Mungkin kau berdiri di tengah keramaian, tapi hatimu kerontang. Jangan menyerah. Hari ini, buka tanganmu. Buka hatimu.
Biarkan Kristus menuangkan air hidup-Nya ke dalam jiwamu yang lelah.
Biarkan sabda-Nya mengalir seperti sungai kecil di padang gersang—pelan, tapi pasti membawa hidup. Dan ingatlah: Ia tidak hanya memanggil kita untuk bernubuat, tapi juga untuk disembuhkan.
Ia tidak hanya mengutus kita untuk berseru, tapi juga merangkul kita dalam keheningan kasih-Nya. Diamlah sejenak. Dengarkan.
Mungkin, di balik sunyi ini, Tuhan sedang berkata:
"Jangan takut... Aku menyertaimu."