Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Masa prapaskah menjadi kesempatan untuk melihat kembali hakikat diri manusia. Salah satu sifat dari hakikatnya adalah kudus.
"Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus." (Im 19: 2). Ini bisa berarti perintah bisa pernyataan supaya manusia menyadari sifat hakikat dirinya.
Bukankah manusia diciptakan secitra dengan Allah (Kej 1: 26)? Kalau Allah itu kudus, citra-Nya juga semestinya kudus. Jadi, manusia itu pada dasarnya kudus.
Apa artinya kudus di sini? Apakah hanya berarti bahwa dia tidak berdosa? Adakah manusia yang tanpa dosa?
Kekudusan itu lebih dari sekedar relasi dengan Allah yang tanpa masalah (tanpa dosa), tetapi menyangkut relasi manusia dengan sesamanya.
Apa yang dilakukan manusia terhadap sesamanya berarti dia lakukan juga kepada Tuhan (Mat 25: 40). Sebaliknya, yang tidak dilakukan terhadap sesamanya juga tidak dilakukan kepada Tuhan (Mat 25: 45).
Perbuatan apa saja itu? Kitab Imamat menjawabnya. Tidak mencuri, tidak berbohong atau berdusta, tidak memeras sesama, tidak mengutuki orang tuli, tidak menaruh batu sandungan di depan orang buta, dan tidak menyebarkan fitnah (Bdk. Im 19: 11-18).
Firman Tuhan menegaskan bahwa kesucian itu bukan soal hidup saleh dan bersih dari dosa semata. Itu baik dan diperlukan. Tetapi tidak cukup. Orang diajak menghayati kesucian dalam sikapnya yang adil, penuh kasih dan manusiawi terhadap sesama. Dengan itu manusia menemukan Allah dalam diri sesamanya.
Senin, 7 Maret 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm