Suara Keheningan | RP. ALbertus Herwanta, O.Carm
Dari jauh pohon tampak daun-daunnya dan mungkin rantingnya juga. Batangnya yang menjadi pegangan ranting dan daun tidak kelihatan.. Sesungguhnya, akar dan batangnya yang membuat pohon itu tetap hidup dan berdiri tegak.
Penting lebih dahulu memelihara dan mempertahankan batang dan akarnya supaya pohon itu beranting kuat, berdaun lebat dan berbuah banyak. Jika orang fokus pada ranting dan daun saja serta mengabaikan batangnya, suatu saat pohon itu mati dan ranting serta daunnya gugur.
Hukum kehidupan ini juga seperti pohon. Ada batang, ranting dan daunnya. Orang perlu lebih dulu berpegang pada prinsip dan hukum utamanya. Baru setelah itu pada cabang-cabangnya.
Tidak demikian sikap orang Farisi. Mereka mengurusi "thèthèk bengèk" dan yang "remèh tèmèh", tetapi mengabaikan intinya. Misalnya, terlalu repot dengan aturan cuci tangan, cuci cawan, kendi, tetapi mengabaikan kasih kepada sesama dan Tuhan.
Akibatnya, ketaatan mereka kepada hukum menjadi "lip service" alias dangkal; hanya menyentuh sisi luar. Itulah yang dikritik oleh Sang Guru Kehidupan.
"Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia" (Mrk 7: 6-8).
Sikap dan perilaku beragama semacam itu masih dijumpai hingga kini. Banyak praktik beragama yang mengatur hal-hal remeh secara detil. Tetapi ketika dituntut memperjuangkan kasih dan hak asasi manusia kontribusinya nyaris nihil. Bahkan terkesan kontra hukum yang melindungi manusia.
Soal pakaian dan cara mengenakannya diatur sekecil-kecilnya. Tetapi menolak undang-undang untuk melindungi perempuan dari kekerasan. Barangkali, ini contoh konkret gagalnya membedakan batang dari rantingnya.
Selasa, 8 Februari 2022 RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.