Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Orang mencapai tujuan menggunakan sarana. Baik tujuan maupun sarananya mesti benar. Tujuan tidak menghalalkan cara.
Melakukan korupsi dengan tujuan menggunakan uangnya untuk membangun rumah ibadah tentu salah. Maksud mulia menyumbang rumah ibadah tidak membenarkan korupsinya. Secara moral sama kelirunya memperoleh uang dengan merampok untuk membiayai misi agama. Apalagi untuk terorisme. Dobel salahnya.
Sarana itu biasanya terpisah dari tujuan. Namun dalam hal kasih keduanya menjadi satu.
Ketika ditanya seorang ahli kitab tentang hukum yang utama, Sang Guru Kehidupan menjawab, "Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan hukum yang kedua ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti diri sendiri. Tidak ada hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini" (Mrk 12: 29-31).
Apa yang mau ditekankan-Nya? Mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan itu terwujud secara konkret dan lengkap dalam kasih kepada sesama. Orang yang mengaku mengasihi Tuhan tetapi membenci sesamanya, dia adalah pendusta (1 Yoh 4: 20).
Dengan mengasihi orang sudah mencapai tujuannya, yakni kasih. Karena Tuhan adalah kasih, barangsiapa mengasihi sudah berada dalam Tuhan dan Tuhan ada dalam dirinya (1 Yoh 4:16).
Tuhan itu sangat dekat dan bisa dijangkau dengan tindakan sangat manusiawi, yakni mengasihi. Tidak membutuhkan ilmu yang tinggi.
Karena sangat sederhana dan manusiawi, orang justru sering gagal merealisasi. Tidak perlu kecil hati. Perlu diperjuangkan lagi. Jalan kasih itu tidak jauh, karena sarana dan tujuan berdekatan; bahkan satu.
Minggu, 31 Oktober 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.