Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Jauh sebelum Jokowi muncul di panggung layanan publik, "blusukan" termasuk kosa kata asing dalam dunia politik. Itu tetiba membahana di seluruh Nusantara ketika beliau menjadi Gubernur DKI.
Tatkala beliau memulai gerakan khasnya ini, banyak yang mencibirnya. Sebagian wakil rakyat melihatnya dengan sebelah mata. Kini suara dan cara pandang sumbang itu sudah hilang.
Sebagai presiden, beliau melanjutkan "blusukan" demi melayani rakyat dengan jiwa dan hati luhur. Beliau tidak duduk di belakang meja, menunggu informasi, melainkan aktif mencarinya sendiri. Data yang dimilikinya sering lebih lengkap daripada yang di tangan para menteri.
Ketika pelbagai daerah dilanda bencana, dalam waktu singkat beliau hadir di sana. Di kala harga-harga tidak stabil, presiden turun ke pasar, mengeceknya sendiri. Dia ingin memastikan bahwa semua terkendali dan bebas dari pemain spekulasi.
Strategi pelayanan ini patut dihargai dan membuat para pemimpin mengintrospeksi diri. Pesannya jelas: pemimpin itu pelayan, jangan minta dilayani. Pelayan itu mesti mengerti kebutuhan tuannya. Dalam hal ini, rakyat.
Inti ajaran yang sudah berusia lebih dari dua ribu tahun ini lahir dari seorang Guru Sejati yang mengajar para murid-Nya, ”Barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah dia menjadi hambamu.” (Matius 20:27)
Sebelum Jokowi "blusukan," Sang Guru sudah melakukannya. Dia meninggalkan surga untuk "blusukan" di dunia, karena Dia adalah Sabda yang menjadi manusia (Yohanes 1:14). Inilah strategi "blusukan" nomor wahid.
Pada masa persiapan pemilu ini, orang diajak melihat calon pemimpin yang memiliki semangat pelayanan serupa. Mereka bukan hanya "blusukan" di desa dan pasar, tetapi juga di kampus, menjumpai para akademisi dan di tengah generasi muda yang menjadi harapan masa depan bangsa dan negara. Singkatnya, untuk menangkap aspirasi rakyat, "blusukan" itu strategi politik jitu.
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, 6 Juni, 2023AlherwantaRenalam 157/23