Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Dalam hidupnya setiap orang memiliki beban. Baik orang kaya maupun orang miskin menanggung beban. Demikian pula kaum berkuasa dan rakyat biasa. Masing-masing menanggung beban yang berbeda.
Secara kodrati semua orang ingin bebas dari beban. Orang kaya, misalnya. Mereka ingin tidak khawatir kehilangan harta. Apakah itu mungkin? Bukankah biasanya semakin banyak yang dimiliki, makin besar pula kekhawatirannya?
Orang sakit juga ingin dibebaskan dari penyakit yang ditanggungnya. Seperti yang terjadi pada seorang wanita yang telah dikuasai iblis selama delapan belas tahun (Luk 13: 11). Badannya sampai bungkuk; tidak bisa tegak berdiri. Dia tentu ingin bebas. Namun kekuatannya sendiri tidak sanggup membebaskannya.
Tatkala bertemu dengannya di rumah ibadat pada hari Sabat, Sang Guru Kehidupan bersabda kepadanya, "Hai ibu, penyakitmu telah sembuh." (Luk 13: 12). "Lalu Dia meletakkan tangan-Nya atas perempuan itu, dan seketika itu juga berdirilah perempuan itu, dan memuliakan Allah" (Luk 13: 13).
Namun kepala rumah ibadat gusar melihat peristiwa itu, lalu berkata supaya orang datang di luar hari Sabat untuk disembuhkan. Mendengar hal itu Sang Guru bersabda bahwa pada hari Sabat orang juga melepaskan lembu dan membawanya ke tempat minum. Membebaskannya dari rasa haus.
Demikian pula Tuhan membebaskan manusia dari bebannya. Tetapi sesamanya manusia justru membuat alasan untuk tidak melakukannya. Lebih parah lagi, halangan itu dibuat oleh pemimpin rumah ibadah yang semestinya menyalurkan berkah.
Hingga kini rupanya masih banyak agama (termasuk tokohnya) yang tidak membawa pembebasan. Sebaliknya, mereka meletakkan beban yang tidak perlu di atas pundak manusia. Bukankah itu membuat agama tidak menarik?
Agama sejati itu membebaskan. Orang perlu bersikap seperti Sang Guru Kehidupan tatkala menghadapi orang yang terbelenggu dan terbebani hidupnya. Prinsipnya, mereka itu mesti segera dibebaskan dari beban.
Senin, 26 Oktober 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.