Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Salah satu objek yang sering muncul dalam perdebatan antara kaum Farisi dan Sang Guru Kehidupan adalah hari Sabat. Dalam bahasa Ibrani שבת atau shabbāṯ, Shabbat berarti "istirahat" atau "berhenti bekerja."
Akar tradisi Sabat itu bisa dilacak dalam kisah penciptaan (Kej 1: 1-31). Setelah enam hari berkarya (menciptakan) Tuhan Allah beristirahat pada hari ketujuh (Kej 2: 2-3).
Jadi, ide dasar dari Sabat adalah beristirahat. Allah beristirahat. Manusia pun demikian. Artinya, dilepaskan dari beban hidup untuk memulihkan diri. Jangan sampai menjadi budak kerja atau hamba uang.
Rupanya orang Farisi dan ahli Kitab telah mengubah jiwa Sabat ke dalam pelbagai aturan yang mengikat dan membebani. Salah satu contohnya adalah larangan memetik bulir gandum pada hari Sabat (Mrk 2: 23-28).
Jawaban dari Sang Guru Kehidupan atas protes dari orang Farisi yang melihat para murid-Nya melanggar Sabat mengembalikan jiwa hari Sabat. Dia tidak menghapus hari Sabat, tetapi mengembalikan ke maksud aslinya.
Dia juga menegaskan bahwa diri-Nya adalah Tuhan atas hari Sabat. Maksudnya? Dia datang untuk membebaskan manusia dari beban hidup, terutama dosa dan kematian.
Kini banyak cita-cita mulia, adil dan membebaskan yang diputarbalikkan demi pelbagai kepentingan yang menjauhkannya dari semangat aslinya. UUD 1945, Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI, misalnya, berhadapan dengan pelbagai usaha yang mau menggantinya.
Hasilnya? Kekacauan yang membuat hidup bangsa tidak aman, damai dan tenteram sehingga sulit membangun. Persis seperti hukum Sabat buatan kaum Farisi dan ahli Kitab. Untuk memetik manfaatnya yang sejati dan asli semua perlu dibawa kembali ke akarnya.
Selasa, 18 Januari 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.