Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Renalam kemarin mengajak orang merefleksi tentang kesalahan. Kali ini, ia mengajak menengok gagal, saudara dekat dari salah.
Bukankah kegagalan biasanya terjadi antara lain karena adanya kesalahan? Ketika orang tidak mengantisipasi potensi kesalahan atau kurang cerdas mengelola kesalahan kegagalan besar terjadi.
Sejauh mana kegagalan berguna bagi manusia? Kebanyakan para pemikir positif mengatakan bahwa kegagalan itu pelajaran atau pengalaman penting. Tentu, ini hanya berlaku bagi para pembelajar. Tak berguna untuk yang bebal.
Namun, masuk ke dalam atau mengalami kegagalan tidak selalu mudah. Aku pernah bersedih selama sebulan lebih tatkala menghadapi kegagalan. Air mata tertumpah berulang kali. Berhari-hari.
Baru setelah itu terlewati, aku memetik pelajarannya. Gagal itu bermakna dan penting.
Kegagalan itu tidak hanya memberi pelajaran, melainkan juga membawa kesadaran.
Hingga kini sistem dan tatanan sosial-politik-ekonomi dunia belum sepenuhnya benar dan adil. Ideologi apa saja yang dianut, dunia masih belum lepas dari carut-marut. Banyak kegagalan.
Ironis, bahwa hidup yang merupakan proses menuju kesempurnaan itu diwarnai dengan rangkaian kegagalan.
Rupanya, kegagalan itu harus dialami untuk menantang daya tahan manusia. Penulis The Light in the Heart, Roy T. Bennet menulis bahwa takut gagal itu tidak boleh melebihi rasa takut untuk mencoba.
Cobalah terus sampai kegagalan bosan mengganggumu. Demikian tafsiran bebasnya.
Tidak ada yang mustahil bagi orang yang percaya kepada Tuhan, karena bagi-Nya semua mungkin. “It always seems impossible until it’s done,” kata Nelson Mandela.
Selalu tampak tak mungkin sampai itu bisa dikerjakan. Jadi, haruskah seseorang kalah terhadap kegagalan?
SOHK, Jumat 20 Mei 2022 RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm. Renalam ke-44