Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Ketika bertugas di Roma (2007-2013), aku tinggal di dekat Piazza San Martino Ai Monti. Piazza itu sejenis alun-alun. Tempat umum seperti itu biasanya dipakai tinggal kaum gelandangan.
Di depan pintu rumah kami, juga ada beberapa gelandangan yang suka tidur. Kadang duduk di depan pintu. Mereka berasal dari Maroko. Aku sering menyapa mereka dengan Assalamualaikum. Mereka senang.
Kami kadang memberi mereka roti. Suatu hari, salah satu dari kami, romo Jerman, memberi mereka roti. Tetapi, roti itu dibuangnya. Rupanya, mereka lebih suka diberi uang daripada makanan. Dengan uang mereka bisa membeli bir.
Tentu, romo itu merasa tidak dihargai, karena roti itu dibuang di hadapannya sambil "ngomèl-ngomèl" pula. Siapa yang tidak tersinggung jika pemberiannya dibuang?
Perilaku gelandangan itu mengingatkan aku akan perilakuku sendiri. Beberapa kali aku menolak pemberian orang. Alasannya, karena aku tidak mau merepotkan orang.
Dalam pelayananku yang amat sederhana, apalagi dengan teman yang aku kenal, rasanya tidak "pas" menerima pemberian itu.
Setelah menyadari bahwa itu tidak benar, aku menerima pemberian orang dengan senang hati. Aku mau menghargai pemberian dan menghargai pemberinya. Kepada teman atau sahabat yang pernah aku tolak pemberiannya, saya memohon maaf.
Mungkin tidak banyak yang secara terus terang menolak pemberian seperti yang aku lakukan. Namun, barangkali ada banyak orang yang secara tidak langsung menyia-nyiakan pemberian Tuhan.
Berapa yang suka membiarkan waktu berlalu tanpa menggunakannya untuk sesuatu yang bernilai atau bermutu? Berapa yang memboroskan uang untuk membeli hal-hal yang tak berguna?
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Kamis 11 Mei, 2023AlherwantaRenalam 131/23