Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Waktu kelas dua SMP aku masuk sekolah siang. Pagi hari aku di rumah sendiri.
Ibu memberiku PR cukup banyak. Mencuci pakaian, pergi belanja ke pasar, dan memasak. Beresin pekerjaan rumah tangga.
Waktu mengupas bawang putih, bawang merah, memotong sayur, dan memarut kelapa (ambil santan) aku mendengarkan seri drama radio RRI Yogyakarta. Kisah yang hingga kini masih teringat tentang Anak Kolong.
Ceritanya tentang anak tiri yang tinggal di tangsi. Sering disiksa ayahnya. Aku sungguh membayangkan kepedihan gadis remaja itu. Kalau tidak salah, pemerannya Hastin Atas Asih.
Imajinasi dalam mendengarkan drama radio jauh lebih hidup daripada menonton drama seri televisi.
Setiap pendengar punya imajinasinya sendiri-sendiri. Tidak mengikuti selera sutradara.
Imajinasi itu punya kekuatan positif dan negatif. Tatkala digunakan secara kreatif, positif dan konstruktif menghasilkan kebudayaan yang berkualitas tinggi. Lihatlah, karya sastra, film, lukisan, patung, candi dan pelbagai arsitektur bangunan. Juga karya-karya digital. Manusia itu mengagumkan.
Tetapi, imajinasi yang diisi dengan hal-hal negatif, tiada tara daya rusaknya. Apa jadinya anak-anak yang mulai kecil dicekoki imajinasi kekerasan, kebencian dan intoleransi? Mereka yang membiarkan ini terus terjadi berarti tidak peduli akan nasib anak cucunya nanti. Dimotivasi imajinasi negatif, perilaku manusia amat destruktif. Manusia itu bisa mengerikan!
Siapa yang bebas dari imajinasi? Apa menariknya hidup ini tanpa imajinasi? Waspadalah, imajinasi itu bak pedang bermata dua. Bisa baik dan bisa buruk pemanfaatan dan akibatnya. Tergantung manusia yang mengisi dan memakainya.
Masih banyak yang direnungkan tentang imajinasi. Sementara sampai di sini. Dilanjutkan lain kali.
SOHK, Minggu 24 April 2022 RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.Renalam ke-18