Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Nilai menggambarku waktu di SMA selalu di bawah enam. Jelas, bahwa aku tidak bakat menggambar.
Namun demikian, aku bisa membedakan kualitas lukisan. Membandingkan lukisan kelas kaki lima dengan koleksi yang dipajang di museum-museum di Madrid yang pernah aku kunjungi seperti membandingkan langit dan bumi.
Siapa sesungguhnya perupa yang hidupnya selalu dipenuhi dengan aktivitas menggambar? Jawabannya, suami-isteri yang relasi kasihnya penuh harmoni.
Mereka tidak menggambar di kanvas. Mereka tidak menggerakkan kuas. Cat minyak atau air pun tak diperlukan.
Mereka menggambar pada wajah mereka. Inspirasinya bukan dari alam di luar sana, melainkan dari dalam batin dan hati sanubari.
Lewat berjuang mempertemukan pelbagai perbedaan (karakter, minat, bakat, dan lain-lain) mereka terus melukis itu di wajah mereka. Terlaksana dalam proses panjang mereka saling melengkapi dalam kesabaran.
Perhatikan wajah suami-isteri yang bertahun-tahun hidup bersama dan bersatu dalam relasi yang serasi! Bukan hanya makin romantis, melainkan wajahnya pun makin mirip dan harmonis. Bukankah salah satu ciri lukisan berkualitas adalah harmonisasi warna? Mereka menciptakan harmoni jiwa.
Suami-isteri adalah perupa yang memadukan hati dan jiwa. Maka, kualitas lukisan di wajahnya berbeda dari tarikan tangan perupa yang memadu warna.
Yang pasti, lukisan-lukisan suami-isteri itu khas istimewa. Tidak pernah bisa diproduksi oleh komputer atau robot yang tanpa hati dan jiwa.
Para suami-isteri tercinta, teruslah melukis di hati dan wajah kalian. Dunia yang terancam intoleransi para radikalis mendambakan teladan hidup kalian yang saling mencintai dalam relasi harmonis.
SOHK, Selasa 23 Mei 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm. Renalam ke-48