Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Menurut kata orang, di antara dunia dan surga terdapat jarak. Yang ingin masuk ke surga akan melewati jembatan. Anehnya, setiap orang mesti membangun sendiri jembatan itu.
Murah anggarannya. Tidak perlu pergi jauh waktu membangunnya. Cukup pergi ke tetangga. Mereka yang berbuat baik kepada sesamanya telah mulai membangun jembatan itu bagi dirinya.
Nama jembatan itu adalah kasih. Walau itu bisa ditemukan pada diri tetangga, banyak orang kesulitan menemukannya. Mengapa? Karena banyak orang pilih-pilih dalam mewujudkan kasih.
Sang Guru Kehidupan menegaskan, "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu." (Mat 5: 43-44).
Ajaran lama tentang kasih itu bersifat diskriminatif dan eksklusif. Sedangkan ajaran Sang Guru universal dan inklusif. Kasih sejati merangkul; tidak mengenal musuh atau lawan.
"Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian? Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna." (Mat 5: 47-48).
Kasih sejati mengalir dari Allah Bapa yang mengasihi semua. Banyak yang mengalami kesulitan waktu melaksanakannya. Karena itu, orang perlu meminta rahmat dan kekuatan Allah. Ingat, bagi Allah tidak ada yang mustahil.
Kerap kali jembatan kasih yang manusia bangun itu ambruk, karena relasi dengan sesamanya yang buruk. Setiap kali jembatan itu ambrol orang mesti membangunnya kembali. Bukankah hidup ini bagaikan membangun jembatan menuju ke surga?
Sabtu, 12 Maret 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.