Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Yang dimaksud dengan kebiasaan melarikan diri di sini adalah "escapism" (lari dari situasi yang tidak menyenangkan ke dalam aktivitas yang imajinatif dan bersifat menghibur). "Escapism" bisa sehat, bisa pula tidak sehat.
"Escapism" yang dilakukan hanya untuk keluar sebentar dari hidup yang penuh tekanan dan membosankan itu sehat. Misalnya, pergi rekreasi keluar kota untuk melepas "stress" atau menonton film, membaca buku, dan hobi lainnya. Ketika sifatnya permanen, "escapism" itu tidak sehat.
Dari dahulu, mekanisme ini sudah menjangkiti manusia. Kisahnya bisa dibaca dalam Alkitab, terutama tentang nabi-nabi. Misalnya, nabi Yunus yang lari dari tugas yang Tuhan percayakan kepadanya. Ingat kan, karena lari dari hadapan Tuhan dia dilemparkan ke dalam laut lalu ditelan ikan?
Kini "escapism" itu makin canggih. Di universitas, tempatku bekerja dahulu, ada unit kegiatan mahasiswa yang menjadi lokasi aman dan nyaman buat "escapism" itu. Mereka yang bergabung di sana punya banyak alasan untuk tidak ikut kuliah atau menyelesaikan skripsi, karena kegiatan unit itu amat padat. Banyak orangtua gelisah melihat anaknya yang mahasiswa terlalu aktif dalam kegiatan non-akademik kampus.
Era digital ini menyajikan pelbagai macam "escapism" yang canggih. Banyak korbannya tanpa sadar terjebak di sana. Misalnya, murid yang asyik main "game" dan melalaikan tugas sekolahnya. Ada pula yang lari ke dalam media sosial dan menulis konten-konten yang tidak ada hubungannya dengan tugas kuliahnya. Akhirnya, kuliah yang menghabiskan banyak uang itu tidak selesai. Mangkrak!
Orang dewasa atau tua juga tidak lepas dari godaan "escapism" ini. Misalnya, orangtua yang merasa bosan atau jenuh dengan pekerjaan rumah tangganya lari ke dalam aktivitas lain seperti arisan, kegiatan sosial, atau nongkrong di mall; bersenang-senang bersama temannya. Jarang di rumah.
Dalam bidang rohani, "escapism" juga terjadi. Betapa banyak orang yang melarikan dari kehidupan sehari-hari yang sulit dan penuh tantangan ke dalam aktivitas rohani. Misalnya, aktif di gereja atau persekutuan doa. Mereka itu tampak penuh komitmen di sana, tetapi bisa jadi motivasinya kurang murni.
Karl Marx pernah mengkritik agama yang dikatakannya sebagai candu bagi masyarakat. Maksudnya, orang memanfaatkan agama untuk meninabobokan sesamanya. Misalnya, mengajar orang miskin dan tertindas untuk tidak melawan para penindasnya, karena orang miskin kelak akan diganjar oleh Tuhan di surga. Konteks pendapat Karl Marx itu pertarungan antara kaum proletar dan pemilik modal.
Hingga kini masih ada agama yang mengajarkan hal serupa. Ketika ajaran itu ditumpangi kepentingan politik itu tentu berbahaya. Para penumpangnya bisa menggunakan massa yang miskin untuk melawan pemerintah atau merebut kekuasaan dengan motivasi agama. Kalau mereka mendukung partai itu, mereka akan mendapat ganjaran di surga. Demikian janjinya. Ujungnya tentu bisa diduga, yakni bahwa semua itu manipulasi belaka.
Agama dan iman yang benar tidak mengajar orang untuk melarikan diri dari dunia nyata dengan segala problemanya. Agama yang mengajarkan bahwa Allah menjadi manusia untuk mengalami hidup seperti manusia tentu tidak menawarkan "escapism" dalam ajarannya.
Ajaran iman yang benar memberikan terang dan inspirasi, semangat dan kekuatan untuk memahami dan menghayati iman dalam kaitan dengan tantangan nyata sehari-hari. Misalnya, mendirikan rumah sakit, sekolah, dan pelbagai lembaga untuk melayani dan membebaskan banyak orang yang tidak mampu dan terbelenggu.
"Escapism" tidak sehat membuat orang tidak dewasa pribadinya secara psikologis dan rohani. Pribadi yang suka "escapism" biasanya lemah atau minimal tidak berani menghadapi kesulitan. Hidup rohaninya juga tidak bertumbuh, karena hidup rohani itu bukan imajinasi, melainkan erat menyatu dengan hidup sehari-hari. Itu menjadi pemberi makna dan daya juang hidup. Semakin mantap dan matang hidup rohani seseorang, semakin dia berakar pada realitas sosialnya; anti "escapism" atau kebiasaan melarikan diri.
Tabik.
CaMing III, 19 Januari 2026 HWDSF