Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Dua anak kecil murid sekolah dasar itu berdiri di mulut pintu keluar stasiun kereta bawah tanah (MTR) Admiralty, Hong Kong. Mereka menawarkan "sticker" untuk aksi sosial ("charity"). Orang yang menerima "sticker" itu boleh memberikan sumbangan seikhlasnya. Uangnya dimasukkan dalam kotak sumbangan tersegel yang mereka sediakan.
Rupanya, itu tugas dari sekolah yang bertujuan menanamkan rasa dan sikap peduli kepada sesamanya yang kurang beruntung hidupnya. Terharu menyaksikan mereka menyapa orang dengan wajah ceria dan penuh senyum. Kelak, waktu dewasa, mereka akan mempunyai hati dan sikap peduli yang tinggi.
Dalam diri setiap orang Tuhan menanam rasa kasih dan peduli itu. Rasa itu bersifat universal dan berlaku setiap waktu. Tidak membedakan agama, suku, etnis, atau karakteristik lainnya.
Sayang sekali, ada sikap beragama yang mematikan rasa itu dengan cara menanamkan kebencian kepada sesamanya, terutama yang berbeda agama. Alih-alih rasa peduli, permusuhanlah yang terus dikobarkan dalam hati. Akibatnya? Bisa dijawab sendiri.
Pada hari Sabat ketika berjamu di rumah seorang Farisi, Sang Guru Kehidupan melihat ada orang yang sakit busung air. Dia lalu bertanya kepada ahli Taurat dan orang Farisi yang ada disitu. "Diperbolehkankah menyembuhkan orang pada hari Sabat atau tidak?" (Luk 14: 3). Tapi mereka diam saja, karena menurut agama mereka tidak boleh. Lha, menolong orang kok tidak boleh.
Apa yang dilakukan Sang Guru? "Lalu Ia memegang tangan orang sakit itu dan menyembuhkannya dan menyuruhnya pergi" (Luk 14: 4).
Demikianlah Sang Guru menunjukkan misi utamanya, yakni peduli dan menyelamatkan manusia. Tindakan itu lahir dari rasa kasih dan peduli amat besar terhadap mereka yang menderita. Itulah yang diajarkan kepada umat manusia supaya dilakukan. Bagaimana realitanya?
Ada yang memasung dan mematikan rasa itu dengan alasan agama. Ironis dan memprihatinkan. Tetapi jauh lebih banyak yang menanam, mengembangkan, dan melatihkan rasa itu pada anak-anak. Seperti yang terjadi di alinea pertama itu. Bila itu terus dilakukan, niscaya dunia memiliki banyak manusia yang memiliki kepekaan untuk menolong.
Jumat, 29 Oktober 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.