Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Kering memiliki pelbagai makna dan digunakan dalam pelbagai konteks. Kering itu bisa terkait dengan yang jasmani; bisa pula dihubungkan dengan yang rohani.
Musim kemarau amat sering dikaitkan dengan kering. Artinya, tanpa air atau sulit mencari air. Kondisi ini mempersulit hidup para petani. Maka, presiden Jokowi membangun banyak bendungan agar di musim kering tetap tersedia air.
Khotbah atau kuliah bisa juga terasa kering. Tidak ada lucunya, monoton, tidak aktual, dan sama sekali tidak kontekstual. Pesannya tidak jelas; omongnya "ngalor ngidul." Bisa dipahami bahwa yang mendengarkan cepat bosan. Ngantuk. Tertidur.
Relasi dalam cinta suami-isteri tidak jarang terasa kering. Hidup bersama yang dijalani sebagai rutinitas bisa menjadi salah satu penyebabnya. Berhenti mendalami satu sama lain sebagai pribadi kaya misteri juga membawa suasana kering dalam relasi.
Banyak orang yang berhenti berdoa, karena merasakan bahwa doa-doanya kering. Permintaan tidak dijawab. Harapan tak terpenuhi. Duduk tenang dalam meditasi justru menciptakan gelisah dalam hati.
Namun kering tidak selalu kering. Kering justru bisa menggugah dan menantang. Menarik.
Itulah yang aku alami waktu di bangku SMA; membaca Novel KERING karya Iwan Simatupang. Sebagai penulis eksistensialis, Iwan menuangkan cerita yang amat menarik dan menantang pembaca untuk berpikir. Merefleksi hidup terkait dengan kemarau dan kering.
Entah berapa kali membacanya, aku lupa. Makin membaca, makin masuk ke dalamnya.
Kering itu pengalaman semua orang. Sebagian bisa mengambil makna dari dalamnya dan diperkaya. Pak Jokowi, misalnya. Kering menginspirasi beliau untuk membuat bendungan. Yang lain hanya mengutuk dan menjadi frutrasi. Para oportunis hanya membuat kering sebagai komoditas politik. Pemicu demonstrasi.
Memang ada satu kering yang selalu dihindari orang. Namanya kanker alias kantong kering.
SOHK, Rabu 18 Mei 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm. Renalam ke-42