Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Bagi sebagian orang kosong itu kurang menyenangkan. Seorang teman dari Amerika berkata sinis tatkala menyaksikan sepakbola dengan hasil skor akhir 0-0. Masak bermain selama sembilan puluh menit tanpa hasil?
Orang juga sedih pulang ke rumah dengan tangan kosong setelah seharian bekerja. Hati bisa merasa khawatir tatkala kas rumah tangga dalam keadaan kosong.
Karena kosong lebih banyak berkonotasi negatif, orang menghindari yang kosong. Ketika hidupnya tanpa kegiatan orang merasa kosong. Gelisah.
Meski demikian hidup ini membutuhkan yang kosong. Bayangkan, perut yang selalu penuh dan tidak bisa diisi lagi! Bukankah hidup ini secara alamiah berproses dalam mekanisme dari kosong kemudian diisi dan kemudian harus kosong lagi?
Pandangan bahwa waktu kosong itu mesti dihindari tidaklah tepat. Ada kalanya orang perlu mengosongkan pikiran. Kalau tidak, bisa stres.
Masyarakat modern yang amat sibuk takut masuk ke dalan kekosongan. Mereka mengira kosong itu berarti tanpa isi.
Hanya dengan mengosongkan diri orang dapat mencapai yang jauh lebih penuh. Orang Jawa mempunyai kosa kata khas untuk kosong, yakni "suwung" yang bisa diinterpretasikan sebagai tanpa penghuni.
Mereka yang ingin mencapai hidup rohani tingkat tinggi dituntut bisa dan rela membuatnya dirinya kosong. Orang yang penuh dengan pikiran, rencana, ambisi dan nafsunya sendiri sulit naik ke tempat yang tinggi.
Balon yang bisa terbang tinggi itu kosong sekaligus berisi. Orang yang ingin bahagia bersama Tuhan perlu mengosongkan diri agar Tuhan bisa hadir mengisinya dengan kebahagiaan sejati.
SOHK, Jumat 8 April 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm. Renalam ke-4