Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Hampir semua orang "familiar" dengan luka. Ada yang hidupnya penuh dengan luka. Bukan luka fisik yang menggores kulit saja, melainkan luka hati yang sulit terobati.
Banyak anak mengalami luka saat proses pendidikannya berlangsung dalam keluarga. Demikian mendalam luka itu hingga ia bisa membenci sosok ayah atau ibu. Sebagian murid juga dilukai oleh gurunya. Misalnya, karena diejek di depan kelas gara-gara kebodohannya.
Tidak sedikit murid yang setiap kali mau berangkat sekolah merasa sakit perut. Mereka takut di-"bully" oleh teman-temannya, karena alasan suku, etnis, atau agamanya. "Bully" itu meninggalkan luka membekas yang traumatis.
Bangsa Indonesia juga mengalami luka sejarah amat mendalam. Pembunuhan massal karena motif politis tahun 1965 hingga kini masih meninggalkan luka. Keluarga korban kerusuhan (tragedi) sembilan delapan juga masih terus menuntut keadilan.
Luka-luka komunitas nasional dan internasional terus terjadi. Perang antar bangsa, baik yang terbuka maupun tertutup membuat masa depan umat manusia redup. Rakyat kecil dan miskin terus mengalami luka di tengah dunia yang makin kaya.
Mereka yang terluka cenderung mewariskan luka. Secara bawah sadar mereka ingin kerugiannya terbayar. Ironis, semakin membalas, lukanya makin dalam membekas. Balas membalas tidak pernah berakhir impas, tetapi membuat korbannya terhempas.
Sakit hati hanya bisa disembuhkan oleh daya yang keluar dari hati. Kasih, pengampunan, simpati, dan empati adalah penyembuh luka kelas tertinggi. Bak serum ular yang melemahkan bisanya.
Hingga kini, belum ada yang sukses menyembuhkan luka-luka kehidupannya dengan kasih pengampunan sempurna. Hanya Dia yang lewat luka-luka-Nya menghapus dosa manusia telah paripurna melakukannya. Dia bukan pembawa luka-luka tak tersembuhkan, melainkan pribadi yang lewat sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya menyembuhkan semua luka-luka kehidupan.
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Sabtu 15 April, 2023AlherwantaRenalam 105/23