Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Tentang tujuan hidup, ada banyak pandangan. Sebagian orang memikirkannya secara serius. Misalnya, para filsuf dan guru rohani. Ada pula yang dengan santai melihat tujuan hidup. Bahkan cenderung tidak memikirkannya. Mereka hidup dengan mengalir. Ke mana hidup membawanya, ke sana mereka pergi. Tidak banyak peduli.
Sesungguhnya, untuk apa kita hidup? Ada yang bilang hidup ini untuk sukses. Konsekuensinya, bila tidak sukses, dia "stress." Yang lain bilang, "Hidup ini untuk berbuat baik." Sedang yang lain lagi berkata, "Hidup ini untuk melakukan pekerjaan mulia."
Semua jawaban itu benar; hanya tidak seluruhnya. Mengapa? Karena jika itu seluruhnya benar, bagaimana dengan bayi yang belum sukses dan belum bekerja? Bagaimana dengan penyandang difabel yang makan-minum sendiri pun tidak mampu? Apakah mereka tidak mempunyai makna dan tujuan hidup?
Manusia dilahirkan pertama-tama untuk "being" atau berada; bukan untuk bekerja. Karena itu, manusia disebut "human being" dan bukan "human doing." "Being" atau berada itu lebih bermakna daripada "doing." Itu tidak berarti bahwa manusia tidak perlu bekerja. "Being" mendasari "doing" yang merupakan bagian dari "being."
Kurang bijaksana mengorbankan "being" demi "doing." Banyak orang super sibuk bekerja dan menjadi korban pandangan bahwa "doing" itu lebih penting daripada "being." Mereka bekerja keras demi uang, jabatan, kekuasaan, dan kepandaian sampai kesehatan jiwa-raganya terganggu; sakit dan tidak bahagia.
Sesungguhnya, manusia dipanggil untuk menjadi dirinya sendiri. Andaikan mesti sukses, itu berarti berhasil menjadi dirinya sendiri. “Jika Anda tidak menjadi diri yang sesungguhnya, maka pekerjaan, kesehatan, kebahagiaan, dan hubungan Anda dengan sesama tidak selaras. Keserasian akan terganggu," kata John Main, OSB dalam bukunya Door to silence.
Menjadi diri sendiri tidak sama dengan egois. Menjadi diri sendiri berarti peduli juga kepada orang lain. Bukankah manusia itu makhluk individual-sosial? Semakin orang menjadi dirinya sendiri, semakin dia mengarah juga kepada sesama dan alam sekitarnya. Sebaliknya, semakin orang tidak mengenal dirinya, semakin asing pula dia terhadap sesamanya.
Untuk apa aku hidup? Bagaimana aku memanfaatkan hidupku? Apakah aku bahagia dengan keberadaanku ataukah kesibukanku telah merampas kebahagiaan hidupku?
Salam dan Tuhan memberkati.
SOHK, Minggu 11 Juni, 2023AlherwantaRenalam 161/23