Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Masa adven mengajak orang untuk menunggu kedatangan Sang Penyelamat. Menunggu itu seni menguji kesabaran.
"Life was always a matter of waiting for the right moment to act," kata Paulo Coelho. Hidup itu menunggu tibanya momen yang terbaik terjadi.
Nabi Yesaya menggambarkan bangsa Israel yang menunggu dibebaskan dari pembuangan Babilon (Yes 54: 1-10). Puluhan tahun mereka di sana. Peristiwa kembalinya ke negeri Israel itu bagai isteri yang telah diceraikan pulang ke rumah; bersatu kembali dengan sang suami.
"Sebab seperti isteri yang ditinggalkan dan yang bersusah hati TUHAN memanggil engkau kembali; masakan isteri dari masa muda akan tetap ditolak? firman Allahmu. Hanya sesaat lamanya Aku meninggalkan engkau, tetapi karena kasih sayang yang besar Aku mengambil engkau kembali. Dalam murka yang meluap Aku telah menyembunyikan wajah-Ku terhadap engkau sesaat lamanya, tetapi dalam kasih setia abadi Aku telah mengasihani engkau, firman TUHAN, Penebusmu" (Yes 54: 6-8).
Benar, Tuhan murka hanya sementara; tetapi kasih-Nya tetap selamanya (Mzm 30: 6).
Namun, bukankah ketika berada dalam kesedihan, penderitaan, sakit, dan situasi sulit orang mengira Tuhan meninggalkannya? Bukankah menantikan pertolongan-Nya sering terasa amat lama?
Waktu Tuhan memang berbeda dari masanya manusia. Yang bagi manusia seribu tahun, bagi Tuhan hanya sehari. Namun Tuhan tidak pernah lalai memenuhi janji-Nya; menyelamatkan umat yang sepenuh hati percaya kepada-Nya.
Tuhan telah mengutus Yohanes Pembaptis untuk membuka jalan bagi Sang Penyelamat itu (Luk 7: 27). Dia segera tiba. Apakah manusia terbuka dan sabar menanti pertolongan ilahi?
Kamis, 16 Desember 2021RP Albertus Herwanta, O. Carm.