Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Manusia itu tergolong makhluk sosial-relasional. Makhluk sosial, karena manusia berkembang menjadi utuh bersama teman atau "socius"-nya. Sebagai makhluk relasional manusia menjadi makin manusiawi ketika berelasi dengan sesamanya.
Mengingat dua hal itu, mendengarkan amat diperlukan. Relasi sosial mustahil terwujud tanpa sikap saling mendengarkan.
Demikian pula relasi manusia dengan Tuhan menuntut sikap mau mendengarkan. "Dengarkanlah suara-Ku, maka Aku akan menjadi Allahmu dan kamu akan menjadi umat-Ku, dan ikutilah seluruh jalan yang Kuperintahkan kepadamu, supaya kamu berbahagia!" (Yer 7: 23).
Dalam hal ini mendengarkan berarti menaati (obedire atau obey). Mendengarkan suara Tuhan mengandung makna percaya kepada-Nya; mengikuti jalan yang diperintahkan-Nya.
Pengalaman menunjukkan bahwa mendengarkan itu tidak mudah. Bukankah salah paham antar manusia kerap terjadi karena gagal mendengarkan sepenuh hati?
Mendengarkan Tuhan lebih sulit lagi, karena manusia itu keras kepala dan tegar tengkuk (Yer 7: 24-28). Bahkan saat Tuhan hadir dengan kuasa-Nya mengusir setan, mereka tetap tidak mau percaya. Mereka malah mengatakan bahwa Tuhan mengusir setan dengan kuasa Beelzebul, penghulu setan (Luk 11: 15).
Bagaimana mungkin Tuhan bekerjasama dengan setan? Bagaimana setan melawan setan? Bukankah itu pertanda sikap hati mereka yang keras, tidak mau mendengarkan dan sulit percaya?
Manusia akan semakin manusiawi bila mau saling mendengarkan. Mereka menjadi ilahi bila mau mendengarkan Tuhan. Bila mau bahagia dan selamat hidupnya manusia perlu menghayati seni mendengarkan.
Kamis, 24 Maret 2022RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.