Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Waktu misa requiem ayah, air mata meleleh di pipi saya. Sedih. Ayah wafat pada usia relatif muda, 76 tahun. Dirawat di rumah sakit satu minggu, lalu meninggal. Secara psikologis dan mental saya tidak siap.
Berbeda dengan waktu ibu berpulang. Saya bisa memimpin misa requiem dan menyampaikan homili. Bukan tidak sedih, tetapi saya lebih siap dan tabah.
Ketabahan itu berasal dari ibu yang pada tahun-tahun terakhir hidupnya berulang kali bertanya, "Kapan ya Tuhan memanggil saya? Saya ini sudah siap." Iman menjadi bekal beliau.
Tampaknya bagi beliau meninggal dunia bukan hal yang menakutkan. Sebaliknya, dirindukan. Memang beliau telah mencoba mempersembahkan hidu kepada Tuhan lewat karya dan pelayan kasihnya.
Barangkali ibu meniru Simeon yang berada di Bait Allah saat Sang Juru Selamat dipersembahkan kepada Tuhan oleh kedua orangtua-Nya sesuai dengan hukum (Luk 2: 25-28). Dia memandang dan menatang Sang Juru Selamat.
Simeon yang sudah lama merindukan Dia berkata, "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa" (Luk 2: 29-31).
Orang yang telah percaya dan mengalami Sang Juru Selamat tidak perlu takut menghadapi akhir hidupnya. Mereka dengan tenang dan damai dapat menyambut kematian yang menjemputnya.
Pada tiga hari wafatnya ibu, kami sekeluarga mengundang para tetangga untuk datang ke rumah. Kami mengadakan pesta mengenang ibu. Beberapa tetangga, termasuk bapak kepala dukuh memberi kesaksian tentang ibu.
Kami bahagia mendengar kesaksian mereka. Saya jadi lebih paham mengapa ibu begitu siap menyambut Juru Selamat yang datang menjemput beliau.
Rabu, 29 Desember 2021Oktaf natal hari kelima RP Albertus Magnus Herwanta, O. Carm.