Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Anak bekas penguasa yang kaya raya itu jatuh terpuruk. Setelah ayahnya yang dulu berkuasa dan nyaris mempunyai segala sudah tiada, dia kehilangan pegangan. Orang-orang yang dulu berada di sekitar ayahnya sudah pergi menjauh pula.
Dia tersadar bahwa dalam hidup ini orang tidak bisa mengandalkan kekuasaan dan harta duniawi belaka. Semua itu diperlukan. Namun bukan kekuatan dan penopang utama bagi kehidupan.
"Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN! Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik" (Yer 17: 5-6).
Lebih tegas dari itu, Sang Guru Kehidupan mengkontraskan antara orang yang percaya kepada Tuhan (Luk 6: 20-23) dengan yang mengandalkan diri sendiri atau kekuatan duniawi (Luk 6: 24-26).
Mereka yang miskin akan memiliki Kerajaan Allah (Luk 6: 20); yang lapar akan dipuaskan (Luk 6: 21); yang menangis akan tertawa (Luk 6: 21). Mereka yang dibenci karena percaya kepada Tuhan akan mendapat upah besar di sorga (Luk 6: 22-23). Demikianlah mereka yang berpegang pada Tuhan.
Ini bukan "escapism" atau melarikan diri dari kesulitan dunia demi mencari fantasi kebahagiaan di surga. Orang yang sungguh menaruh percaya kepada Tuhan mengalami kekuatan-Nya dalam perjuangan di dunia ini.
Sebaliknya, celakalah mereka yang kaya dan memperoleh penghiburan dalam kekayaan (Luk 6: 24); yang kenyang akan lapar (Luk 6: 25); dan yang tertawa akan menangis (Luk 6: 25). Semua pujian duniawi tidak abadi; malah sering palsu (Luk 6: 26). Berapa lama orang bisa mengandalkan dunia?
Ajaran di atas bukan untuk menakut-nakuti atau meremehkan fasilitas duniawi. Realita menegaskan bahwa mengandalkan yang serba duniawi belaka manusia tidak akan selamat dan bahagia. Hanya Tuhanlah yang sungguh dapat menyelamatkan dan memuaskan manusia.
Karena itu, berbahagialah orang yang mengandalkan Tuhan!
Minggu, 13 Februari 2022RP Albetus Magnus Herwanta, O. Carm.