Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
„Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama dengan gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing. Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.“ |1 Korintus 13:1-3
Akhir-akhir ini publik dihebohkan oleh fenomena viral dari kalangan para imam, entah karena ucapan tertentu, maupun ketampanan tertentu yang mirip dengan tokoh-tokoh populer lainnya. Dari sekian fenomena itu, ada yang memang aneh dan patut direfleksikan. Nah, tulisan kecil ini tidak lebih dari sebuah percikan pemikiran terkait fenomena imam viral dan tantangan evangelisasi di dunia modern saat ini.
Oleh karena itu, pada awal dari tulisan ini, terasa baik jika fenomena viral itu dihubungkan dengan cara hidup Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus. Hubungan antara fenomena viral dan cara hidup tersembunyi Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, seperti yang digambarkan dalam buku Wajah Tersembunyi, mengangkat dua pendekatan yang sangat berbeda terhadap kehidupan: ketenaran publik versus kehidupan dalam kerendahan hati dan kesederhanaan yang tersembunyi.
Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus, yang juga dikenal sebagai Therese of Lisieux, terkenal karena spiritualitasnya yang disebut “Jalan Kecil.” Dalam kehidupannya di biara Karmelit di kota Lisieux, Perancis, Theresia memilih cara hidup yang sangat sederhana, tersembunyi, dan penuh kerendahan hati. Ia percaya bahwa cinta yang besar terhadap Allah dapat diwujudkan melalui tindakan-tindakan kecil dalam kehidupan sehari-hari, tanpa perlu perhatian atau pengakuan dari orang lain. Fokus utamanya adalah pada pengorbanan dalam kesunyian, penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, dan menyembunyikan diri di hadapan dunia agar hanya Allah yang melihat dan mengapresiasi setiap tindakannya.
Dalam buku Wajah Tersembunyi, spiritualitas Santa Theresia yang hidup dalam kesunyian dan pelayanan tanpa henti, meskipun tidak terlihat oleh dunia luar, sangat ditekankan. Dia berusaha mencintai Allah melalui hal-hal kecil dalam hidupnya dan tidak mencari penghargaan manusia, tetapi hanya menginginkan Allah untuk mengetahui setiap tindakan cintanya. Hidup tersembunyinya merupakan penyangkalan terhadap keinginan akan ketenaran dan pengakuan publik, sebuah hal yang sangat bertentangan dengan konsep viralitas di dunia modern.
Viralitas adalah fenomena modern di mana seseorang atau suatu peristiwa mendapat perhatian luas dalam waktu singkat, sering kali melalui media sosial. Dalam banyak kasus, menjadi viral berarti seseorang atau tindakannya dilihat, dikenal, dan diperbincangkan oleh banyak orang. Viralitas bisa menimbulkan ketenaran yang sering kali diiringi dengan apresiasi dan pengakuan, tetapi juga dapat menghasilkan tekanan atau eksposur yang berlebihan.
Dalam konteks seorang imam atau tokoh keagamaan yang viral, fenomena ini membawa perhatian publik terhadap tindakan atau perkataan mereka, yang bisa sangat berbeda dari cita-cita kerendahan hati dan kesunyian seperti yang dicontohkan oleh Santa Theresia. Ketenaran publik, meskipun bisa dimanfaatkan untuk evangelisasi, bisa membawa risiko berfokus pada diri sendiri, atau bahkan melupakan panggilan untuk melayani Tuhan dalam kesunyian dan kesederhanaan.
Santa Theresia memilih untuk hidup dalam ketersembunyian, karena ia percaya bahwa tindakan-tindakan cinta yang tersembunyi lebih mulia di hadapan Tuhan daripada popularitas yang dicari manusia. Ia menulis bahwa yang paling mulia bukanlah terlihat di dunia, tetapi hidup dalam cinta Tuhan. Ia bahkan menganggap penderitaan tanpa pengakuan sebagai persembahan yang lebih berharga. Sebaliknya, viralitas dapat mengangkat seseorang ke sorotan dunia, terkadang secara tidak disengaja.
Meski viralitas bisa digunakan untuk kebaikan, ada godaan untuk mengejar ketenaran, pengakuan, atau validasi dari orang lain, yang berlawanan dengan spiritualitas “jalan kecil” Santa Theresia yang berfokus pada pengakuan dan penghargaan hanya dari Allah.
Buku Wajah Tersembunyi mengajak pembaca untuk merenungkan nilai dari pelayanan tersembunyi, yang tidak mencari sorotan dunia. Dalam kehidupan kontemplatif Santa Theresia, ia menekankan bahwa menjadi dikenal atau tidak oleh dunia tidak mempengaruhi nilai di hadapan Tuhan. Ini berlawanan dengan budaya modern yang sering kali menilai seseorang berdasarkan popularitas atau jumlah pengikut di media sosial.
Seorang imam atau tokoh agama yang viral, meskipun niatnya baik, dapat mengalami tantangan untuk menjaga kerendahan hati dan fokus pada pelayanan batin. Viralitas bisa mengganggu konsentrasi pada misi yang lebih dalam: melayani Tuhan dalam keheningan dan ketenangan, serta melawan godaan kesombongan atau pujian dari manusia.
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh informasi, pesan Santa Theresia dari Kanak-kanak Yesus menjadi pengingat bagi siapa saja yang mengalami atau mengamati fenomena viral. Kehidupan tersembunyinya mengajarkan bahwa nilai seseorang di hadapan Allah tidak diukur dari seberapa banyak orang yang mengenal mereka, tetapi dari seberapa dalam mereka hidup dalam cinta dan pelayanan kepada-Nya. Ketenaran bukanlah ukuran kebenaran atau kesalehan, melainkan cinta sejati adalah melayani Allah dalam tindakan yang sering kali tidak terlihat oleh dunia. Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici) tentang Viralitas Selain tinjuan dari lensa spiritualitas, kita juga perlu melihat bagaimana Kitab Hukum Kanonik berbicara terkait fenomena viralitas ini.
Menjadi seorang imam Katolik yang viral atau terkenal di media sosial tidak otomatis bertentangan dengan norma hukum Gereja Katolik, asalkan imam tersebut tetap menjaga etika, moral, dan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Gereja dalam tindakannya. Gereja Katolik memiliki seperangkat aturan dan pedoman yang mengatur kehidupan dan perilaku para imam, sebagaimana diatur dalam Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). Namun, munculnya ketenaran atau popularitas seorang imam di media sosial harus dievaluasi dalam konteks beberapa prinsip yang penting:
1. Pelayanan Pastoral dan Sakramental
Kehidupan seorang imam seharusnya tetap berpusat pada tugas utamanya, yaitu pelayanan kepada umat melalui sakramen-sakramen, pengajaran, dan bimbingan spiritual. Keterlibatan dalam media sosial atau ketenaran tidak boleh menghalangi tugas-tugas ini. Jika aktivitas online tersebut mendukung pelayanan pastoral—seperti memberikan ajaran, inspirasi spiritual, atau memperkuat iman umat—itu dapat dianggap sebagai sesuatu yang positif.
2. Kehati-hatian dalam Bertindak dan Berbicara (Can. 666)
Seorang imam wajib menjaga kehati-hatian dalam bertindak di ruang publik, termasuk di media sosial. Kitab Hukum Kanonik menyatakan dalam Kanon 666 bahwa para imam harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam bahaya yang bisa melemahkan tugas suci mereka, termasuk dengan berlebihan menggunakan media sosial yang bisa menciptakan kesalahpahaman atau mengganggu kehidupan religius mereka.
3. Perlindungan Iman dan Moralitas (Can. 285 §1)
Seorang imam diharapkan menghindari perilaku yang tidak sesuai dengan kedudukan atau status mereka sebagai imam. Ketenaran seorang imam yang viral harus tetap memperlihatkan sikap rendah hati, mempromosikan moralitas, dan tidak menimbulkan skandal di antara umat. Jika ketenaran tersebut digunakan untuk menyebarkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran atau moral Gereja, maka ini bisa melanggar aturan Kanon 285 §1 yang melarang para klerus terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan peran sakral mereka.
4. Kewajiban untuk Mempromosikan Kedamaian dan Persatuan (Can. 275 §1)
Semua klerus bekerja sama dalam satu pekerjaan, yaitu pembangunan tubuh Kristus, maka mereka harus satu sama lain dalam ikatan persaudaraan dan doa dan bekerja sama satu sama lain sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Itu berarti, jika popularitas seorang imam di media sosial menyebabkan perpecahan atau kontroversi, atau jika ia menyuarakan hal-hal yang memicu polemik di kalangan umat beriman, hal ini dapat dianggap melanggar kewajiban untuk menjaga persatuan dalam Gereja.
5. Penggunaan Media Sosial dengan Bijak
Paus Fransiskus, dalam berbagai kesempatan, telah menekankan pentingnya penggunaan media sosial secara bijak. Paus menyoroti bahwa media sosial bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk evangelisasi jika digunakan dengan benar. Namun, jika digunakan untuk tujuan pribadi yang berlebihan, demi popularitas, atau jika pesan yang disampaikan justru menimbulkan kebingungan di antara umat, maka ini dapat menjadi masalah bagi seorang imam.
6. Ketaatan kepada Uskup dan Hirarki Gereja (Can. 273-274)
Seorang imam Katolik wajib menunjukkan ketaatan kepada uskup diosesannya dan hirarki Gereja. Jika seorang imam yang viral atau terkenal bertindak di luar izin atau kontrol otoritas Gereja, ini bisa menjadi masalah. Misalnya, jika seorang imam menolak ketaatan kepada uskupnya dalam hal penggunaan media atau tidak mengikuti arahan yang diberikan terkait aktivitas publiknya, hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum Gereja.
Kesimpulan
1. Hubungan antara viralitas dan cara hidup tersembunyi Santa Theresia menunjukkan kontras antara budaya modern yang sering kali menekankan pengakuan publik dan popularitas, dengan spiritualitas “jalan kecil” yang ditekankan oleh Santa Theresia. Sementara viralitas membawa perhatian dan sorotan dunia, Santa Theresia menegaskan bahwa hidup dalam kesunyian, tanpa mencari penghargaan duniawi, adalah jalan menuju kekudusan yang sejati.
2. Ketenaran seorang imam Katolik di media sosial atau dalam dunia publik tidak otomatis bertentangan dengan hukum Gereja Katolik, asalkan popularitas tersebut tidak mengganggu pelayanan sakramental, tetap mempromosikan ajaran Gereja, tidak menimbulkan skandal, dan mematuhi perintah otoritas Gereja. Gereja Katolik tidak melarang penggunaan media sosial, tetapi mengharuskan penggunaannya untuk mendukung evangelisasi, membangun iman umat, dan menjaga integritas peran seorang imam.
Jika seorang imam viral justru menyebarkan nilai-nilai yang selaras dengan Injil dan ajaran Gereja, hal ini bisa dilihat sebagai alat evangelisasi yang sangat efektif di zaman modern. Sebaliknya, jika ketenaran tersebut digunakan untuk tujuan pribadi atau menimbulkan skandal, hal itu bisa menjadi masalah yang bertentangan dengan norma-norma Gereja.