1 min dibaca
04 Nov
04Nov
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm

Bayangkan sebuah senja yang baru saja merona di pagi hari. Di timur, langit tampak terbakar dengan semburat merah yang menyala, mengalirkan kehangatan lembut di atas cakrawala. Awan-awan tipis melayang, diterangi oleh percikan cahaya yang menyelimuti bumi dengan warna keemasan. 

Garis-garis warna oranye dan merah muda seakan menari, memeluk mentari yang perlahan muncul, menciptakan perpaduan yang damai, mengajak kita larut dalam keheningan.Di bawah langit yang penuh warna ini, pepohonan dan puncak-puncak bukit berdiri dalam siluet yang tenang, seolah turut menyaksikan kebesaran ciptaan Tuhan. 

Kabut tipis masih menggantung di atas lembah, perlahan tersingkap oleh sinar pagi. Keindahan ini adalah undangan tak terucap untuk bersyukur, mengakui kehadiran Tuhan yang senantiasa memberi kehangatan dalam hidup kita, membangunkan kita dalam pelukan kasih yang selalu baru.

Mari kita resapi keheningan senja pagi ini, saat warna merah dan oranye di langit seperti pelukan lembut, sebuah tanda bahwa selalu ada harapan dan awal baru. 

Dalam momen ini, kita diajak memasuki hening sejenak, memberikan ruang bagi hati kita untuk menyimak sabda Allah yang dapat menenangkan, membawa kedamaian bagi jiwa yang haus akan kasih-Nya. Mari kita buka hati kita pada sabda Tuhan dalam Filipi 2:1-4 dan Lukas 14:12-14.

Dalam suratnya kepada jemaat Filipi, Paulus mengajak kita untuk bersatu dalam kasih, rendah hati, dan tidak mementingkan diri sendiri. Ia mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang kita peroleh, tetapi bagaimana kita bisa menjadi berkat bagi sesama. Saudara-saudari terkasih, mari kita merenung sejenak: adakah dalam hidup kita, kita telah benar-benar mengutamakan kasih dan kepedulian? 

Apakah kita telah berusaha menjadi penghibur dan penyemangat bagi mereka yang ada di sekitar kita? Dalam Injil Lukas, Yesus mengajarkan kita untuk mengasihi mereka yang tak mampu membalas kebaikan kita. Yesus meminta kita mengundang mereka yang miskin dan terpinggirkan, bukan demi imbalan atau pujian, tetapi karena kasih yang tulus. Pertanyaan ini menghujam ke dalam hati: sudahkah kita mengasihi dengan murni, memberi tanpa pamrih, seperti yang Tuhan ajarkan kepada kita? 


Momen hening ini adalah kesempatan untuk membiarkan kata-kata itu menyusup, mengalir dalam diri kita, dan menuntun kita lebih dekat pada kedamaian sejati yang hanya datang dari Tuhan. 

Namun, di balik keindahan senja pagi ini, sebuah kabar duka datang mengguncang hati kita. Letusan Gunung Lewotobi telah membawa perpisahan yang menyayat hati—kepergian seorang suster yang kita cintai, Sr. Nikolin, SSPS. Dalam sekejap, gemuruh bumi memecah kesunyian pagi, mengguncang jiwa-jiwa yang merindukan kedamaian. Suster Nikolin, seorang pelayan Tuhan yang hidupnya dipenuhi kasih, telah berpulang dalam misi yang agung, meninggalkan warisan kebaikan yang tak terlupakan.

Di tengah kedukaan ini, kita mengenang Sr. Nikolin sebagai sosok yang penuh cinta dan ketulusan. Ia hadir bagi sesama dengan hati yang murni, memberikan kasih tanpa pamrih. Kepergiannya meninggalkan kesedihan yang dalam, mengaburkan keindahan pagi ini dan mengingatkan kita akan rapuhnya hidup di hadapan kuasa alam yang tak terduga. Namun, dalam keheningan duka ini, kita percaya bahwa jiwa Sr. Nikolin kini telah berlabuh dalam pelukan kasih Tuhan, menemukan kedamaian yang abadi.


Untuk Sr. Nikolin, teriring doa dan kasih kami: semoga engkau tenang dalam keabadian, engkau yang telah mengabdi dengan hati yang tulus dan jiwa yang setia. Engkau telah menuntaskan tugasmu, dan kini Tuhanlah yang akan menerimamu dalam pelukan yang abadi.Mari kita masuk dalam keheningan sejenak, mengiringi jiwa Sr. Nikolin dengan doa yang tulus. Biarlah hening ini menjadi doa bagi jiwa-jiwa yang beristirahat, dan semoga kasih Tuhan menyentuh setiap hati yang terluka.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.