Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Tulisan aslinya bisa dibaca di sini: Penulis-Penulis yang Tidak Banyak Bicara Halaman all - Kompasiana.com
Penulis itu punya banyak selera dan maunya. Ada yang bilang, "saya menulis saja, tanpa pikir dapat apa-apa." Ada penulis yang dapat idenya sederhana. Ia bangun dari tidurnya yang lelap. Bahkan ia lupa mimpinya apa semalam. Duduk bersila di atas tempat tidurnya.
Memejamkan mata, menutup muka, lalu berkata, "Syukur kepada-Mu Tuhan, karena saya bisa bangun kembali di hari baru ini. Hari yang indah." Terdengar dari kejauhan suara seperti gelombang pecah di pantai. Suara itu datang dan pergi.
Dari dalam kamar terdengar gelombang suara itu samar-samar. Pertanyaan aneh datang tiba-tiba, "kamu tulis tentang apa?"
Hari ini saya ingin menulis tentang penulis yang tidak banyak bicara. Adakah penulis yang tidak banyak bicara? Ya, ada lho. Ada yang diam dan diam, tapi menulis dan terus menulis. Mereka menulis tanpa banyak mengeluh dan mengesah.
Coba perhatikan teman-teman penulis kamu di sini. Ada penulis yang begitu tenang dan sunyi merangkai kata di kolom fiksi. Kesunyian membuka cakrawala tentang penulis yang membiarkan kata-kata mereka bicara.
Mereka tidak banyak bicara karena ingin dalam diam itu kata-kata mereka bicara semakin keras. Wow saya baru menyadari itu. Mereka tak pernah minta jata. Mereka tidak pernah protes tentang kerinduan teman-temannya yang sedang belajar menulis.
Ia menulis lagi dengan tenang. Tak peduli juga apa ada yang baca dan berapa yang baca. Bisa ada penulis sabar yang tidak banyak bicara. Semua penulis itu tak banyak bicara kecuali dengan dirinya saja. Berbicara dengan diri sendiri, dalam pikiran dan hati.
***
Ada teman yang tanya kenapa kamu membuat tanda tamba pada dahi, mulut dan hatimu setiap kamu hendak menulis sesuatu?
Jawabnya sederhana, saya sedang meminta agar Tuhan memberkati pikiran, mulut dan hati saya. Dia juga melakukan itu tanpa kata-kata. Hari ini saya ingat tokoh Yosep yang tidak banyak bicara.
Yosep ibarat penulis yang tidak banyak bicara. Tak banyak bicara, tapi kisahnya dibaca ulang, namanya juga tetap dikenang. Ini hiburan untuk penulis supaya jangan berhenti menulis, tapi menulislah sesuai gerakan hati.
Hati saya baru saja tergerak untuk menulis tentang pagi ini tanpa kicauan burung. Di manakah burung-burung itu? Ada kesaksian unik teman saya saat ia mengendarai mobil bekas BMW hasil karoserinya di tahun 1985.
Dia melihat seekor burung terbang di atas mobilnya sejauh 150 km. Baginya itu unik. Mengapa burung bisa terbang begitu jauh? Kami bercerita tentang burung-burung yang pergi mengungsi ke Afrika sebelum musim dingin datang dan kembali setelah musim semi itu tiba.
Burung-burung itu seperti penulis, kadang pergi dan datang. Ada kepastian mereka datang bawa siulan dan kicauan. Mereka hadir kembali dalam ruang menulis dengan suara mereka. Ada ruang yang mengubah suara menjadi kata.
Pada saat itu, penulis tidak bisa lagi diam. Saya pernah mencoba menulis dengan suara. Tak semudah menulis dengan jari karena sudah terbiasa. Komunikasi akrab antara pikiran, hati dan jari selama ini seakan sudah seiya sekata.
Jari sudah terbiasa menjalankan perintah pikiran tanpa banyak bicara. Hati lalu diam-diam membaca ulang dan mengubahnya. Mulut menunggu semua olahan itu hingga punya citarasa makna.
Penulis yang tidak banyak bicara itu telah memberi ruang terbuka kepada pembaca begitu banyak. Ia menulis dan kata-katanya bicara di dalam pikiran dan hati orang. Narasi kecil di awal hari, saat duduk bersila di atas tempat tidur.
Merenungkan penulis-penulis yang tidak banyak bicara ketika memperingati figur Yosep yang tidak banyak bicara, tapi perannya besar tak terbayar.
Yosep bicara tentang kasih sayang, kesetiaan dan kesabaran tanpa banyak bicara. Yosep tekun bekerja untuk perjalanan bahtera rumah tangganya.
Salam berbagi, ino, 19.03.2023.