1 min dibaca
01 Mar
01Mar
Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm

Manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Begitulah kenyataan yang sering terlupakan dalam kesibukan hidup. Kita diciptakan dari debu, namun dihembusi oleh napas Ilahi. Kita rapuh, tetapi diberi kuasa untuk mengelola bumi. Kita terbatas, tetapi dianugerahi mata untuk melihat, telinga untuk mendengar, dan hati untuk memahami kebesaran Sang Pencipta.

Namun, untuk apa semua itu jika kita tidak tahu tujuan keberadaan kita?Sejak awal, manusia dipanggil bukan hanya untuk hidup, tetapi juga untuk memuji. Pujian itu bukan sekadar suara yang bergema di bibir, melainkan kesadaran mendalam bahwa segala sesuatu datang dari Tuhan dan kepada-Nya segala sesuatu kembali. Di dalam pujian, manusia menggenapi panggilannya—menjadi wakil dari seluruh ciptaan, mengangkat suara yang mewakili gunung dan lembah, burung di udara dan ikan di laut.

Israel memahami ini dengan cara yang lebih mendalam. Mereka tidak hanya mengenal Tuhan melalui keindahan alam, tetapi juga melalui perjanjian yang diukir di Sinai. Mereka melihat api yang tidak membakar dan mendengar suara yang menggema dari awan pekat. Mereka menerima hukum yang tidak sekadar memberi aturan, tetapi juga kehidupan. Di sinilah mereka belajar, bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari kesetiaan kepada-Nya.

Namun, seberapa sering manusia lupa akan hakikat dirinya? Seberapa sering kita merasa diri mampu, mengira bahwa segala hal dapat kita raih dengan usaha sendiri? 

Di sinilah Yesus menghadapkan kita pada paradoks Kerajaan Allah: bahwa yang lemah justru yang memiliki, yang kosong justru yang dipenuhi, dan yang kecil justru yang masuk lebih dahulu.Ketika para murid menghalangi anak-anak datang kepada-Nya, Yesus menegur mereka. “Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku.” Bagi dunia, anak-anak tampak tidak berdaya—mereka tidak memiliki kekuatan, pengaruh, atau pencapaian. Tetapi justru dalam kelemahan itu, mereka menjadi gambaran sempurna dari manusia yang siap menerima Kerajaan Allah.

Menerima Kerajaan Allah bukanlah soal memiliki kehebatan atau pengetahuan. Bukan pula soal mengumpulkan prestasi atau memenuhi daftar kewajiban rohani. Menerima Kerajaan Allah berarti datang dengan tangan kosong, dengan hati yang terbuka.

Manusia sering kali datang kepada Tuhan dengan tangan yang penuh—penuh dengan ambisi, ketakutan, bahkan kebanggaan diri. Tetapi Tuhan hanya dapat mengisi tangan yang kosong. Dia hanya dapat memberikan rahmat-Nya kepada mereka yang bersedia menerima, bukan yang merasa sudah memiliki segalanya.

Maka, bukankah inilah pelajaran hidup yang paling sederhana sekaligus paling sulit? Bahwa dalam segala hal, kita tidak dipanggil untuk menuntut atau memaksakan apa yang kita anggap berhak kita terima, tetapi untuk menengadahkan tangan dengan penuh iman dan membiarkan Tuhan mengisinya?

Seperti anak kecil yang percaya sepenuhnya kepada kasih orang tuanya, demikianlah kita dipanggil untuk percaya kepada Tuhan—bukan dengan perhitungan, bukan dengan tuntutan, tetapi dengan ketulusan.Sebab, hanya tangan yang kosong yang dapat menerima berkat-Nya. Dan hanya hati yang terbuka yang dapat melihat wajah-Nya.

Komentar
* Email tidak akan dipublikasikan di situs web.