Suara Keheningan | Yancen Wullo
Sejak ku dengar nama itu, terus aku mencarinya walau tanpa alamat. Mencoba bermimpi, mungkin bisa menemukan pada tengah malam saat kesunyian menguasai tidurku.
Silih berganti kisah-kisah indah dalam mimpiku hadir. Sambil mengingat wajah serta peristiwa yang pernah hadir, namun tak satupun yang melekat pada memoriku.
Semua hadirnya tersamar-samar bagai angin yang berhembus pergi tanpa bisa kugenggam dan kupeluk. Mungkin ini mimpi burukku, namun ku yakin dari sekian mimpi itu, Ia pernah hadir sekejap, namun aku tak bisa mengenalnya.
Anganku mulai berkeliaran mengingat masa lalu, kenangan-kenangan yang pernah terjadi. Sejak lahir hingga usiaku saat ini, begitu banyak orang yang ku jumpai, pernah singgah di hati, namun bertanya siapa pasangan jiwaku?
Sebab tak satupun yang mengungkapkan rasanya padaku. Semua telah pergi dan menjauh entah di mana mereka saat ini. Mereka hanya menjadi bagian dari cerita masa laluku.
Mungkin dia salah satu dari sekian banyak orang dan peristiwa itu, namun aku tidak mengenalnya lebih dalam. Ah…aku dikuasai oleh pikiran pada mimpi dan kenangan masa lalu.
Terlalu naif jika berharap dan terlalu bodoh menunggu kapan ia datang. Berpikir demikian membuatku lelah sebab tidak cukup mengandalkan otak dan daya nalarku. Tak ada pilihan lain, aku harus melibatkan rasa untuk menemukan pasangan jiwaku.
Dalam rasa, aku ingin mencarinya jauh ke dalam hati, menyentuh nurani, karena rasa tak mungkin berbohong. Perasaan tak pernah salah, demikian keyakinanku. Demi rasa itu, kutinggalkan pikiranku, dan mulai berjalan untuk menjumpai orang-orang dan bertanya di mana pasangan jiwaku.
Kekasih, di mana engkau bersembunyi,
Dan meninggalkan aku merintih?
Engkau lari pergi seperti rusa jantan
Setelah melukai aku;
Aku ke luar memanggil engkau,
Tetapi engkau telah pergi. (Madah Rohani: Yohanes dari Salib)
Jiwaku berteriak dan terus memanggil di mana engkau pasangan jiwaku. Engkau begitu jauh dalam jarak dan pada hamparan waktu yang sulit kukejar. Kuangkat tangan dan melambai jari-jariku, siapa tahu engkau melihatnya dan datang menjumpaiku.
Engkau melihatku, namun aku tak mampu menggapaimu. Kita bertaut dalam takdir demikian. Engkau terlampau jauh dari tatapanku. Menghitung angka pada langkah-langkah kakiku pada setiap jalan hidupku di dunia ini.
Tak sanggup untuk menggapai harapanku itu untuk memelukmu dalam dekapan kasihmu.
Lelah langkahku, ragaku terbujur pada sebuah pencarian tanpa batas. Jiwaku meronta dan terus mencarimu, untuk menemukan pasangan jiwaku, sebab cintaku abadi selamanya dalam dekapan kasihmu.
Kujumpai orang-orang di sepanjang perjalanan-ku dan bertanya satu persatu tentang di mana keberadaanmu. Siapa tahu mereka mengenalmu dan menunujukkan kepadaku di mana engkau. Mereka mengenalmu, namun mereka tak tahu pasti di mana tinggalmu.
Datanglah seorang pujangga dari bukit tempat sandar matahari.
Ia berbisik padaku. Aku mengenalnya.
Ia lebih kaya dari cinta tetapi lebih miskin dari rindu.
Harta tidak cukup membayar jalan untuk sampai kepadanya. (P. Leo Kleden)
Mungkin kaum miskin dan dan orang sakit, orang yang banyak beban lebih tau jalan ke sana. Akupun bergegas menjumpai mereka dan ingin bertanya tentang kebenaran kata-kata pujangga itu.
Satu persatu kutatap, berharap mereka mengerti maksud kedatanganku. Mereka pun menatapku berharap yang ditunggu itu telah tiba. Aku rindu mendekati mereka.
Namun, aku sekejap hilang segala mimpi masa laluku, pikiran serta rasa untuk berjumpa pasangan jiwaku. Aku lupa siapa yang aku cari dan di mana dia, sejak kutatap wajah belas kasih yang jauh lebih miskin dari kerinduanku tetapi kaya melebihi cintaku.
Ia yang kukenal namanya, dan yang bertahun-tahun kumencarinya, ternyata ia lebih dahulu menjumpaiku, lebih pertama mengasihiku.
Ia adalah kekasih jiwaku, dan pasangan jiwaku. Engkau melukaiku karena cinta, dan kita menderita sebelum kita berjumpa. Terimaksih atas perjumpaan ini.
Aku bangga menemukan pasangan jiwa, Ia yang selalu kurindu pada setiap nafas hidupku. Kita menderita sebelum berjumpa namun kini kita telah menuntaskan kisah cinta ini.