Suara Keheningan Inosensius I. Sigaze
Pilihan untuk mencintai produk dalam negeri itu sangat baik, tapi jangan karenanya anak bangsa ini harus membenci produk luar negeri. Raihlah inovasi baru dalam bidang apa saja dengan mengutamakan kualitas dan kredibilitasnya, maka yang luar negeri dengan sendirinya akan mencari produk dalam negeri.
Beberapa waktu lalu saya membaca satu tulisan seorang Kompasianer tentang seruan benci produk luar negeri. Saat membaca artikel itu, saya merasakan ada sesuatu yang mesti dianalisis lagi terkait ungkapan "benci produk luar negeri."
Tema benci produk luar negeri bisa saja sangat menarik ketika Indonesia di ambang pertumbuhan ekonomi yang semakin menunjukkan diri sampai pada titik kemandirian secara global. Oleh karena itu, benci produk luar negeri sebenarnya ada hubungan logisnya dengan kemajuan suatu negara pada satu sisi dan tingkat kemandirian ekonomi pada sisi lainnya.
Meskipun demikian, apakah dengan kemandirian ekonomi, seharusnya menjadikan suatu negara benci produk luar negeri? Aneh bukan? Tentu ungkapan benci produk luar negeri perlu dikaji lagi secara kritis.
Mengapa ungkapan benci produk luar negeri harus ditafsirkan secara kritis? Ada beberapa alasan yang bisa menjadi landasan pemahaman dalam konteks tulisan ini:
1. Apa artinya benci produk luar negeri?
Benci secara formal dimengerti sebagai ungkapan perasaan sangat tidak suka pada seseorang dan sesuatu. Benci umumnya dikaitkan dengan sifat yang melekat pada sesuatu yang merupakan objek kebencian itu sendiri.
Dari ungkapan "benci produk luar negeri" tampak jelas sekali bahwa sasaran kebencian itu adalah produk luar negeri dan bukan orang yang menghasilkan produk luar negeri. Sekalipun demikian, apakah pantas ada kampanye seperti benci produk luar negeri?
Saya kira pernyataan itu lebih pantas sebagai suatu motivasi buat anak bangsa ini untuk semakin mencintai produk sendiri dan bukan benar-benar sebagai suatu aksi yang berujung pada penolakan pada produk luar negeri.
Oleh karena itu "benci produk luar negeri" tidak boleh dimengerti sebagai aksi yang menegasikan produk luar negeri di tanah air saat ini, tetapi lebih sebagai seni diplomasi yang memotivasi gairah anak bangsa untuk berkreasi secara kompetitif dengan produk luar negeri.
2. Konteks pasar global di dunia metaverse
Semua pembicaraan terkait produk luar negeri dan daya tarik pembeli tidak bisa dipisahkan dari kenyataan perkembangan teknologi dewasa ini. Perkembangan teknologi saat ini berjalan bareng dengan kemungkinan-kemungkinan pasar global.
Pasar global yang saya maksudkan dalam konteks tulisan ini adalah suatu pasar jual beli yang melampaui wilayah suatu negara. Pasar global di dunia metaverse bisa saja punya selera dengan cita rasanya sendiri (Gescmackt).
Daya saing di pasar global seperti saat ini sudah pasti lebih ditentukan oleh dua hal, yakni: Pertama, kualitas. Kualitas hasil produksi saat ini yang paling menentukan sebagai pemenang di kancah pasar global. Barang yang berkualitas akan dipesan sekalipun barang itu jauh dari negaranya. Jadi, sebenarnya percuma kampanye benci produk luar negeri.
Setiap orang punya kebebasan baik dalam mengakses informasi, maupun dalam menentukan pilihan kebutuhannya sendiri entah bisa dibeli di dalam negeri atau di luar negeri. Patokannya bukan larangan "jangan beli produk luar negeri", tapi kemampuan pribadi untuk mendapatkan barang-barang berkualitas.
Saya masih ingat suatu hari di bulan Oktober tahun 2021 lalu, seorang teman saya mengirimkan makanan satu porsi mie yang belum saya coba. Katanya mie itu sangat enak. Ia memesan itu dari Jakarta dan tepat jam 11.30 pesanan itu diantarkan kepada saya.
Peristiwa itu menjadi rujukan saya bahwa pasar global itu sendiri adalah pasar yang akrab dengan selera pembeli, pasar yang mengutamakan kualitas, pasar yang bisa dijangkau tanpa sekat dan batas negara.
Ya, pasar global memiliki ruang bebas dan terbuka untuk siapa saja dan kepada siapa yang bisa menggunakannya.Kedua, kepercayaan (credibility). Pasar global itu tidak hanya soal kualitas, tetapi juga soal kepercayaan yang dibangun oleh pihak penjual produk. Hal yang tabu dalam konteks pasar global itu adalah mengirimkan barang pesanan tidak sesuai dengan selera pemesan, apalagi dengan kualitas yang buruk.
Hampir pasti bahwa kepercayaan itu sangat mahal, oleh karena kepercayaan itu seharga dengan kontinuitas (Kontinuitaet) usaha. Pasar global bisa kalah saing dan kehilangan powernya karena sekali tidak bisa dipercaya. Perjuangan yang sangat penting dalam konteks pasar global bukan soal berapa sering kampanye benci produk luar negeri, tetapi bagaimana menjadi semakin dapat diandalkan dan dapat dipercaya (zuverlässig).
Baik itu kualitas, maupun kepercayaan keduanya merupakan kunci untuk meraih puncak masa depan untuk kemandirian dan meningkatkan kredibilitas produk tanah air.
3. Bersikap kritis dan analitis lebih elegan daripada membenci
Sikap batin manusia di mana saja mestinya bukan dengan benci sebagai rujukan untuk hidup di tengah pasar global yang dinamika persaingannya melonjak setiap waktunya. Sikap yang dibutuhkan adalah kritis dan analitis.
Dua sikap itu berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan mana yang punya kualitas bagus dan original dan mana yang tidak berdampak pada kehidupan dan lingkungan. Hemat saya jauh lebih penting kampanye melawan produk-produk yang menggunakan bahan plastik daripada secara umum saja benci produk luar negeri.
Tidak semuanya produk luar negeri itu buruk, bahkan Indonesia dalam banyak sektor masih punya ketergantungan pada produk luar negeri. Saya setuju kalau pandangan kita sebagai anak bangsa ini lebih mengarah ke opsi mendukung lingkungan hidup dan merawat bumi.
Pandangan yang lebih spesifik membuktikan bahwa anak bangsa ini analitis dan kritis dan bukannya secara gamblang saja seperti ikut arus benci produk luar negeri. Produk yang mana?
4. Produk luar negeri itu bukan saja soal produk barang, tapi juga produk sumber daya manusia (SDM)
Masyarakat Indonesia umumnya mengenal ungkapan produk luar negeri sama artinya dengan anak-anak Nusantara ini yang tamatan luar negeri. Berapa banyak anak bangsa ini yang tamatan luar negeri? Pantaskah ungkapan "benci produk luar negeri?"
Saya yakin ungkapan itu harus dijadikan motivasi bagi anak-anak Nusantara ini untuk semakin punya kreativitas dan inovasi dalam rencana strategi persaingan pasar global. Sebelum kita anak bangsa menjadi mandiri dan maju dalam banyak hal, kita punya sejarah bahwa anak bangsa ini pernah belajar dari produk luar negeri, bahkan anak bangsa ini pernah membaca tulisan-tulisan produk luar negeri. Masih relevankah ungkapan benci produk luar negeri?
Dunia metaverse ini sudah tidak punya dinding lagi. Artinya siapa saja dan kapan saja bisa berkenalan dengan produk-produk luar negeri. Oleh karena itu, terasa begitu mustahil kalau gema benci produk luar negeri masih dikidungkan saat ini. Konsep yang mungkin jauh lebih positif adalah bahwa pentingnya kesadaran membangun kolaborasi global (global collaboration) bukan saja soal kesamaan secara geografis, tetapi lebih dalam kaitannya dengan kolaborasi dalam berbagi informasi dan komunikasi terkait tema-tema bersama, misalnya terkait tema seperti penolakan nuklir dan tema pemanasan global (Global warming).
5. Budaya Nusantara itu ramah bukan benci
Ungkapan "benci produk luar negeri tanpa disadari sebenarnya sangat bertentangan dengan budaya bangsa kita. Budaya Nusantara itu beranekaragam. Oleh karena itu, kata "benci" tampak tidak elok sebagai cerminan dari anak Nusantara yang punya wawasan global yang terbuka pada yang lain.
Gugusan pulau-pulau yang didiami anak bangsa ini selalu membawa sesuatu yang khas dan unik yang selalu juga diterima. Penerimaan terhadap yang lain, mungkin bisa menjadi poin yang penting yang perlu lebih kedengaran gemanya daripada benci tentunya.
Penerimaan atas yang lain, yang berbeda itu memang tidak mudah, tetapi itu sangat penting dipelajari anak-anak Nusantara ini. Budaya bangsa kita punya warisan keramahtamahan (Gastfreundschaft) yang luar biasa, tidak hanya datang dari ajaran agama-agama, tetapi juga dari warisan budaya dan adat istiadat.
Dalam konteks produk pasar global, sebenarnya sikap anak bangsa ini bukan benci, tetapi ramah dan kritis. Ya, jauh lebih cerdas dan terhormat misalnya orang menolak sesuatu tetapi dengan kata-kata yang santun. Atau bisa saja, orang menolak atau mengabaikan sesuatu dengan tidak menekan tombol like.
Demikian beberapa poin catatan kritis terkait alasan mengapa ungkapan "benci produk luar negeri" perlu dikritisi lebih jauh lagi. Ungkapan benci produk luar negeri lebih sebagai suatu motivasi yang membangkitkan gairan anak bangsa untuk menaikan bendera kemenangan dalam kreativitas, inovasi, kualitas, kredibilitas agar mampu bersaing di pasar global dengan pola metaverse yang transparan dan tanpa dinding pembatas. Menjadi zuverlässig hari ini sama halnya dengan memperpanjang masa depan usaha anak bangsa di bumi nusantara ini.
Salam berbagi, ino, 23.01.2022.