Editor Suara Keheningan | I. Sigaze
Masih segar dalam ingatan, pada bulan Oktober 2024 saat pelantikan, Presiden Prabowo yang terhormat berpidato mengajak semua elemen bangsa untuk menjalankan demokrasi yang santun. Ajakan ini terasa tulus dan menyejukkan dari beliau. Namun, mengapa belum genap setengah tahun, kata "santun" ini justru seolah-olah hilang entah ke mana? Dalam beberapa peristiwa, baik itu pidato maupun wawancara di depan publik, yang dipertontonkan bukanlah kesantunan, melainkan justru sebaliknya.
Sungguh mengerikan saat melihat Presiden Prabowo menanggapi kritik tentang susunan kabinetnya yang dianggap gemuk dan kurang produktif dengan kata "Ndasmu!" Ternyata, bukan hanya presiden yang menunjukkan perkataan yang kurang santun ini. Mirisnya, banyak menteri dalam kabinet serta staf khusus kepresidenan yang berbicara sembarangan tanpa norma kesantunan di depan publik dan media sosial. Bukan hanya staf khusus anyar seperti Deddy Corbuzier yang mengolok anak-anak dengan kata "PE'a" (goblok) karena protes soal program makan gratis. Ia bahkan seolah memberikan dukungan kepada rekannya, Gus Miftah, yang mengundurkan diri dari jabatan utusan khusus presiden setelah kasus verbalnya dengan kata "Goblok" yang sangat menghina seorang penjual es teh dalam sebuah pengajian.
Tidak berhenti di situ, banyak menteri dalam kabinet Prabowo yang tercatat melontarkan kata-kata pedas, kurang tepat, atau kurang diplomatis. Misalnya, Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, yang menanggapi tagar #KaburSajaDulu dengan pernyataan "Kalau kabur, jangan kembali lagi", seolah-olah mengusir rakyatnya sendiri. Begitu juga dengan pernyataan seorang menteri senior yang menanggapi demonstrasi "Indonesia Gelap" baru-baru ini dengan sangat arogan dan menolak masukan dari rakyat dengan mengatakan, "Indonesia tidak gelap, yang gelap hanya kalian."
Sungguh menyedihkan melihat apa yang dipertontonkan oleh pemerintah saat ini.Belum lagi pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadang Hindayana, yang mengusulkan memasukkan serangga dan belalang ke dalam program makan gratis. Pernyataan ini justru menimbulkan polemik baru karena dianggap merendahkan rakyat yang tidak terbiasa mengonsumsi serangga dan belalang sebagai makanan.Mungkin ada yang berusaha membela dengan mengatakan, "Ah, itu hanya permainan kata-kata belaka, bahkan diucapkan dengan nada candaan."
Namun, pertanyaannya: siapa yang melontarkan kata-kata itu?
Jika yang berkata "Ndasmu" adalah orang biasa seperti saya, rakyat kecil tanpa kontribusi publik, mungkin tidak akan menjadi polemik besar.
Tetapi, ini menjadi masalah karena justru para pemimpin, terutama presiden dan para menterinya, yang mengatakannya. Mereka adalah figur publik, panutan bagi generasi muda.
Lalu, mengapa mereka begitu sulit untuk berkata santun? Apa susahnya? Lagi pula, apa untungnya bagi pemerintah berbicara seperti itu?
Apakah bisa menyelesaikan masalah yang ada? Sampai saat ini, tidak ada faedahnya. Justru sebaliknya, jawaban dengan kata-kata kasar, tidak sopan, dan tidak diplomatis hanya menimbulkan polemik baru. Masyarakat pun semakin menilai buruk kemampuan para pejabat negara dalam menjaga emosi. Mereka terlihat mengumbar citra yang kurang peka terhadap rakyat dan menunjukkan EQ (emotional intelligence) yang rendah. Sayang sekali, ajakan berdemokrasi dengan santun yang dulu pernah disampaikan, kini justru dilanggar oleh orang yang mengatakannya sendiri. Apakah berkata kasar telah menjadi budaya baru dalam pemerintahan Prabowo-Gibran? Semoga tidak.
JOJO Puspa
21.2.3025