Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze
No body is perfect, semua orang tahu ungkapan asing yang sudah tidak asing itu. Meskipun demikian cukup sering orang tidak bisa memaknai ungkapan no body is perfect.
Artikel Aslinya bisa baca di sini: Ada 5 Kiat Menulis tentang Kesalahan Kecil Halaman 1 - Kompasiana.com
Di zaman ini ungkapan no body is perfect semakin sulit dipahami, bahkan sampai pada hal-hal kecil yang rupanya merupakan kesalahan teknis semata, orang bisa menjadikannya sebagai status di media sosialnya atau bahkan tema tulisan.
Ya, nggak ada yang larang sih, sah-sah saja, cuma kalau dipikir posisi "yang punya kesalahan itu" ada di pihak penulis, maka kemungkinan besar penulis mengharapkan bahwa tentang kesalahan itu tidak perlu ditulis.
Reaksi timbal balik mengharapkan dipahami dan memahami orang lain yang punya kekurangan, kesalahan teknis itu hampir selalu ada pada setiap orang. Sama seperti setiap tulisan tidak pernah tanpa kesalahan, manusia juga tidak ada yang sempurna.
Kekurangan sana sini, kesalahan ini dan itu, lupa selalu saja ada dalam setiap jejak digital seseorang dan dalam setiap jejak hidup manusia. Pertanyaannya, haruskah kekurangan, kesalahan teknis yang dilakukan seseorang itu ditulis?
Ada 5 kiat menulis tanpa membesarkan kekurangan dan kesalahan kecil. Sebelum dan dalam proses menulis, orang perlu mempertimbangkan lima aspek berikut ini.
1. Kekurangan dan kesalahan apa yang perlu ditulis dan yang tidak perlu ditulis?
Sebenarnya orang bisa menulis apa saja, cuma dalam semua yang bisa ditulis itu, selalu ada etikanya. Sederhana saja kalau menurut saya prinsipnya, "tidak menjadikan kekurangan dan kesalahan teknis yang sangat kecil itu sebagai objek tulisan untuk menyudutkan seseorang atau bahkan lembaga tertentu."Oleh karena prinsip seperti itu, maka ada langkah-langkah yang lebih persuasif.
Langkah persuasif itu bisa dilakukan melalui jalur privat ya dalam bahasa yang lebih umum "di bawah empat mata." Kekurangan, kesalahan seseorang atau institusi tertentu tidak akan menjadi begitu memalukan kalau langkah persuasif itu ditempuh, tentu berbeda dengan orang yang sudah melakukan langkah-langkah itu, namun tidak dihiraukan, maka menyoroti dalam tulisan itu mungkin menjadi salah satu cara untuk mengubahnya.
Menulis tentu bukan sebagai langkah pertama dari suatu pendekatan untuk mengatasi suatu kekurangan, kesalahan khususnya kekeliruan dan kesalahan teknis. Saya lebih melihat menulis tentang kekurangan, kesalahan seseorang itu lebih sebagai langkah kedua setelah upaya persuasif yang ramah sudah dilakukan.
2. Sudahkan orang menempuh "japri" alis jalur pribadi, pesan ramah peredam emosi?
Di dunia teknologi komunikasi saat ini, orang mengenal banyak istilah dengan singkatan-singkatan yang menjadi begitu populer. Salah satu istilah itu adalah "japri" atau jalur pribadi.
Secara pribadi saya mengenal istilah "japri" itu ketika munculnya fasilitas WhatsApp dan ketika punya banyak grup. Cukup sering bahwa diskusi para anggota grup akhirnya menyinggung perasaan seseorang, padahal seseorang yang dibicarakan itu adalah juga anggota grup.
Dalam konteks seperti itu, orang selalu cepat-cepat mengatakan, "oh sebaiknya pakai "japri"saja langsung ke orangnya."Japri" memang punya dua sisi.
Pada satu sisi dianggap lebih sopan dan ramah antarpribadi. Namun pada sisi yang lain, terkesan orang tidak gentleman membicarakan persoalan di depan banyak orang.Nah, itulah yang sering sekali terjadi di masyarakat luas terkait dengan konteks kemajuan teknologi komunikasi saat ini.
Pada hal orang perlu membedakan pada hal manakah semestinya ada "japri" dan pada hal mana mesti dengan terus terang bisa di depan publik entah melalui tulisan atau komentar di media sosial. Rasanya untuk membedakan dua hal itu ternyata tidak mudah.
Ya, orang perlu belajar menggunakan kepekaan hati dalam membuat distingsi antara jalur pribadi dan jalur umum.Sementara itu, ada pula hal yang tidak bisa ditiadakan bahwa masing-masing orang punya kebebasan. Dia bebas untuk menulis tentang apa saja, bebas untuk memperdalam sesuatu hal dan seterusnya.
Di tengah arus kebebasan itu, terasa betapa pentingnya saat untuk menentukan sikap sendiri, mana yang lebih baik melalui jalur pribadi dan mana yang cocok untuk jalur umum.
3. Ketahuilah godaan untuk para penulis: membesarkan "hal buruk dan kesalahan teknis, kekurangan" yang kecil
Sederhananya menurut saya orang hanya perlu menggunakan kriteria seperti ini: "Jangan membesarkan hal-hal buruk yang sangat kecil, lalu mengecilkan hal-hal baik.
Bahkan orang perlu sebaliknya membesarkan hal-hal baik yang terlihat kecil."Pengalaman menunjukkan bahwa betapa besar godaan ketika tidak punya ide, lalu tiba-tiba yang namanya "hal buruk" atau seperti suatu kekurangan, kesalahan tertentu itu nongol di depan mata.
Seketika itu juga seseorang diseret pikiran, nah ini dia yang bisa saya tulis nanti.Cukup sering hal-hal seperti itu akan menjadi begitu subjektif dengan kesan terlalu membesar-besarkan hal buruk yang sebenarnya sangat kecil.
Nah, dalam hal itu, seseorang perlu membuat pertimbangan sendiri untuk menjernihkan motivasinya, mengapa dia menulis sesuatu?Apakah dari hal buruk yang begitu kecil ini sangat mengganggu keseluruhan atau cuma saya saja?
Berangkat dari pengalaman pribadi, saya pernah sampai pada keyakinan bahwa lebih baik saya membesarkan hal baik yang terlihat kecil daripada membesarkan hal buruk yang kecil.
4. Mempertimbangkan aspek diksi dan kepekaan hati
Diksi dan kepekaan hati menempati posisi penting dalam menulis. Dari bahasa itulah orang mengerti tentang apa yang ditulis dan tentang tujuan tersembunyi yang tidak dikatakan.
Tentang pesan yang tidak ditulis atau tidak dikatakan itu dibutuhkan kepekaan hati. Namun, kepekaan hati bukan saja soal menangkap pesan saja, tetapi juga terkait dengan menangkap ketersentuhan diksi pada pembaca.
Menulis sampai hati pembaca bergetar itu rupanya yang paling sulit, atau bahkan sampai pembaca melahap sampai selesai tulisan itu bukanlah hal yang mudah. Perjuangan saya pribadi yang tiada henti adalah menulis dan terus menulis dengan mengungkapkan gagasan sampai begitu jelas.
Duhh... ternyata nggak mudah lho. Oleh karena itu, saya mengagumi penulis-penulis yang bisa mengungkapkan gagasan mereka dengan singkat, padat dan jelas, tetapi juga tidak membesarkan kesalahan kecil, melainkan membesarkan hal baik yang kecil.
Kepekaan hati bagaikan radar kecil yang bisa menangkap hubungan-hubungan dalam proses menulis, maupun saat membaca. Kepekaan hati dibutuhkan tentu dalam hal apa saja, termasuk dalam kegiatan tulis-menulis.Kepekaan hati terkait juga dengan konteks menentukan mana yang perlu di "japri" dan mana yang layak dipublikasikan. Kadang saya merefleksikan bahwa bahasa dan kepekaan hati itu menjelaskan siapa itu penulisnya.
5. Mengolah rasa dari reaksi batin dan menata emosi
Segala sesuatu yang terjadi di depan mata manusia selalu menimbulkan reaksi yang bermacam-macam. Ada reaksi senang, kecewa, kesal dan lain sebagainya. Dari sekian reaksi itu ada satu yang mungkin penting dilakukan sebelum salah satu reaksi akan menjadi objek tulisan yakni mencari waktu untuk mengolah reaksi dan menata emosi.
Cukup sering dari pengalaman sendiri membuktikan bahwa terburu-buru terbawa ide, juga terburu-buru menulis tanpa punya kesempatan untuk mengolah reaksi batin dan menata emosi. Ketakutannya sederhana karena ide datang dalam waktu yang begitu singkat, setelahnya bisa lenyap dan tidak kunjung datang.
Bagaimanapun juga mendesak dan menariknya ide-ide kita, tetap dibutuhkan saat-saat untuk mengolah reaksi batin dan menata emosi. Bahkan proses itu bisa dilakukan setelah tulisan itu sudah selesai dan dibaca kembali. Tanyakan pada diri sendiri, apa reaksi batin Anda sendiri?
Sebagian orang mungkin menganggap itu sederhana atau tidak penting, namun proses mengolah reaksi batin dan menata emosi itu penting untuk self correction atau koreksi diri.
Demikian ulasan singkat terkait kiat-kiat dalam menulis hal-hal kecil di sekitar kita. Apa saja bisa ditulis termasuk hal-hal kecil. Namun tidak semua hal kecil seperti kesalahan kecil itu layak dibesar-besarkan, kecuali membesarkan hal-hal kecil yang baik.
Tentu semuanya perlu pendekatan pribadi, memperhitungkan diksi, kepekaan hati, bahkan butuh saat-saat untuk mengolah reaksi batin dan emosi diri hingga masuk ke dalam self correction.
Salam berbagi, ino, 21.12.2021.