Suara Keheningan | RP. Inosensius Ino, O.Carm
Artikel aslinya bisa dibaca di sini: Der Sammler, Sepatu Hitam di Atas Tong Sampah Halaman 1 - Kompasiana.com
Saat berjalan santai menelusuri sudut kota Mainz, tiba-tiba saya dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak biasa. Di sana ada sepatu hitam yang ditempatkan persis di atas tong sampah. Di belakang sepatu itu ada latar merah dari dinding toko sepatu.
Seorang teman saya memberi interpretasi tentang pemandangan itu: "Itu sepatu lama, saat ia membeli sepatu baru, lalu ia meninggalkan sepatu itu pada tempat yang strategis.
Siapa tahu ada orang yang tertarik untuk mengenakannya." Saya mengakui, bisa saja benar seperti itu. Tapi, saya kagum dengan cara pikir pemilik sepatu itu. Mengapa? Hal ini karena, pemilik sepatu itu, tidak begitu saja membuang sepatunya di dalam tong sampah.
Pesona kontradiksi
Ia sebaliknya menempatkan sepatu bekasnya di atas tong sampah. Pada tempat yang menurut saya sangat menarik. Di sana ada pesona kontradiksi. Warna hitam berada di depan dari latar merah. Saya bilang ke teman saya, "Ini menarik, maaf ya, saya mau foto dulu sepatu itu.
Saat saya mengambil beberapa gambar, saya sempat berpikir beberapa kemungkinan: pertama, pemilik sepatu itu punya latar belakang pemikiran yang baik. Ia masih melihat kemungkinan bagi orang lain.
Sepatu itu adalah sepatu bekasnya, tetapi bagi orang lain, bisa saja akan menjadi koleksi kebetulan dari pinggir jalan di sudut kota yang menarik untuk diceritakan. Di sudut kota, saya melihat sepatu itu.
Pada sudut kanan dari toko sepatu, saya menyimpan kenangan tentang seorang pemilik sepatu yang tidak dikenal meninggalkan sepatu lama karena telah menemukan sepatu barunya.
Siapa dia yang meninggalkan sepatu itu? Saya tidak melihatnya. Sangat mungkin pemilik sepatu itu adalah seorang perempuan. Sepatu bertumit tinggi itu memancing nalar saya untuk menorehkan cerita tentangnya.
Yang dibuang dan yang dikumpulkanS
ebuah cerita tentang sepatu tanpa pemilik pada sudut toko sepatu. Kedua, kemungkinan yang muncul dari kenyataan sepatu hitam itu adalah tentang mentalitas orang Eropa terkait barang bekas.
Barang bekas bagi mereka adalah barang yang mungkin masih layak dipakai oleh orang lain. Jadi, mereka tidak begitu saja membuang barang bekas, tetapi mereka menempatkan pada tempat yang menarik untuk dilihat.
Di Jerman setahu saya hampir di setiap kota, ada toko dengan nama Oxfam. Toko itu adalah jenis toko yang menerima barang-barang bekas apa saja. Mulai dari pakaian, perlengkapan rumah, perhiasan, buku-buku dan souvenir lainnya. Mereka menerima itu kemudian membersihkannya dan menjual kembali dengan harga yang murah.
Hasil dari penjualan itu akan dipakai untuk sumbangan ke seluruh dunia.Ya, untuk kepentingan misi bantuan orang tidak mampu, untuk sekolah, untuk orang-orang yang terkena bencana dan lain sebagainya.
Budaya dan pemahaman tentang barang bekas yang ternyata masih dibutuhkan orang lain, sebenarnya masih bisa diltemukan di mana saja bukan? Ada gak di Indonesia?Akan tetapi, yang paling sering saya lihat sampai di kampung saya adalah orang-orang dari kota dengan sirine dan suara ".....besi tua, besi tua." Dia adalah seorang pemulung besi tua.
Mengumpulkan kembali besi tua memang pekerja sulit, tetapi patut diacungkan jempol. Di sana ada penghargaan dan kreativitas tentang yang sudah dibuang dan yang akan diubah menjadi baru.
Gagasan itulah yang bagi saya sangat penting dan menarik. Meskipun demikian, saya tahu bahwa umumnya orang sulit sekali membuang barang kepunyaannya, sekalipun itu sudah tidak dipakainya lagi.
Der Sammler, pengumpul
Pada suatu titik saya pernah merenungkan ini, bahwa manusia ini adalah makhluk yang pengumpul (Sammler). Dari percikan foto tentang sepatu di kota itu, saya akhirnya punya mimpi tentang sebuah buku dengan judul "Der Sammler"Ya, aku adalah der Sammler. Pengumpul ide di sudut kota.
Setiap langkah dan sorotan mataku menjumpai pengumpul-pengumpul di bumi yang tidak pernah tahu mengapa ia terus mengumpulkan semua itu.Ia mengumpul tanpa ikhlas membuang dan meninggalkan untuk orang lain.
Ia mengumpul dan menampung, hingga buntu karena tidak pernah menulis dan membongkar untuk dibaca orang lain. Waktu untuk mengumpul menumpuk, hingga penuh sesak dan berbusuk.
Manusia ini terus mengumpulkan segala sesuatu, bahkan sampai tidak tega melepaskan yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun.Gudang dan ruangan kamar tidur jadi penuh dengan barang-barang yang dikumpulkan dari waktu ke waktu. Der Sammler akan jadi cerita tentang manusia sebagai makhluk pengumpul.
Saya Masih ingat tentang seorang teman yang sedang menderita kanker Pankreas saat itu. Ia tahu bahwa hidupnya tinggal beberapa bulan, tetapi ia masih berjuang mengumpulkan pakaian, buku dan barang-barangnya.
Itu benar-benar saat ide memberontak dalam pikiran saya tentang der Sammler, pengumpul yang tidak tahu mengapa ia harus mengumpulkan yang fana itu.
Waktu bagi pengumpul
Saya jadi malu dan risau karena terkadang saya lupa betapa berartinya waktu ini. Waktu yang penting sebagai pengumpul ide dan tulisan. Der Sammler akan mengubah gambar di sudut kota menjadi cerita.
Der Sammler akan mengubah pikiran jadi kata-kata. Der Sammler akan mengubah tema jadi opini dan gagasan. Der Sammler akan bercerita tentang pengumpul yang gagal mengumpulkan harta, tetapi sukses menyimpan tulisan.Novel masa depan tentang der Sammler dimulai dari cerita tentang sepatu tua dengan latar merah di belakangnya.
Der Sammler pada keheningan kota yang coba membuka mata untuk melihat tentang si pembuang dan si pengumpul.Aku hanya seorang Sammler yang belajar mengumpulkan karya-karya kecil dari ruang aktivitas di dunia, kemudian dibagikan kepada siapa saja dan di mana saja.Aku hanya pengumpul pertanyaan, siapa pemilik sepatu hitam yang ditinggalkan di sudut kota itu? Mungkinkah suatu waktu bertemu dan bercerita dengannya? Mengapa ia meletakan di atas tong sampah dengan latar merah di belakangnya?
Salam berbagi, ino, 31 Oktober 2022.