Suara Keheningan | Inosensius I. Sigaze
Hidup itu Live, laugh dan love
Artikel asli, bisa dibaca di sini: Misteri "Jeda": Mengenang Kepergian Penulis Kompasiana Indriati See Halaman 1 - Kompasiana.com
Catatan awal hari pertama pada tahun 2022 sudah dimulai sejak jarum jam melampaui pukul 24.00 malam. Aku terbangun persis pukul 24 ketika mendengar irama lonceng gereja yang berdering panjang setengah jam.Saat itu, aku terbangun dan menyalakan lampu kamar.
Di atas tempat tidur kupejamkan mata untuk melepaskan tahun 2021 dengan ikhlas dan mengambil langkah pertama memasuki ruang dan waktu tahun 2022. Setengah jam kupejamkan mata untuk bersyukur dan merenungkan kebaikan Tuhan serta memohon perlindungan dan berkat-Nya untuk perjalanan selanjutnya.
Melepaskan masa lalu ternyata juga bukan hal yang mudah, demikian pula melangkah ke Tahun Baru juga bukan hal sepele. Sekurang-kurangnya dari ceritaku di hari pertama ini.
Tidak mudah dan tidak sepele bukan berarti tidak menarik, apalagi bukan berarti tidak bermakna, tetapi sebaliknya sungguh bermakna dan indah. Secara pribadi, saya hidup dalam suatu keyakinan bahwa apapun yang saya alami selalu punya pesan yang berguna bagi hidup saya dan juga bagi orang lain.
Oleh keyakinan itulah, saya senang menulis kembali kisah sehari-hari dan mengendus jejak pesan tersembunyi dari pengalaman yang biasa-biasa saja.
Apa saja yang bisa menjadi catatan awal pada hari pertama tahun 2022 ini? Ada beberapa hal ini yang bisa saja menarik:
Pengalaman kehilangan dan solidaritas
Setelah sujud bersyukur melampau sang waktu tahun 2021, saya dikejutkan oleh satu pesan dari seorang teman yang mengirimkan sebuah foto dari seorang penulis Kompasiana kepada saya. Ada beberapa tulisan pada foto itu: "Kebaikan dan ketulusan hatimu akan selalu aku ingat dalam hati. Selamat jalan semoga diberikan tempat yang terbaik di sisi-Nya."
Ternyata Indriati Gabrielle See (Gaby) telah meninggal dunia pada 31 Desember 2021. Indriati See adalah seorang penulis Kompasiana. Tulisan terakhirnya adalah sebuah puisi dengan judul: "Menatap Karya-Mu." Puisi itu ditulisnya pada 3 November 2016.
Puisi itu tidak dikenakan label biru. Meskipun demikian, dalam puisinya ia menyebut kata biru. Ia adalah seorang penulis Taruna dengan angka-angka pada statistik pribadinya yang bisa memberikan sinyal tertentu tentangnya.
Ia menulis sebanyak 247 karya, dengan rating sebanyak 1,357, lalu komentar sebanyak 2,916, karya yang memperoleh label pilihan 13, artikel utamanya sebanyak 24, keterbacaannya sebanyak 164,505, punya poin: 6.735; dengan followers 1.040 dan following sebanyak 1,018.Sayang sekali saya tidak tahu kapan Indriati See mulai menulis di Kompasiana. Cuma diketahui tulisan pertamanya pada 26 Juni 2015 dengan judul: "Oh Hollister."
Sejak 5 tahun lalu, langkahnya terhenti untuk aktif menulis di Kompasiana karena menderita kanker. Sejak saat itu, ia mulai menjalani hidup dengan melawan kanker dengan cara chemotherapy dan Behandlung lainnya di Jerman.
Seorang teman menulis pesan kecil tentang Indriati:
"Ia punya 3 Putra-putri yang sukses. Putra-putrinya dididik dengan jiwa kenal Indonesia khususnya NTT." Satu tulisan kecil tentang Indriati yang berkaitan dengan rencananya: "Sosok yang kuat, semangat, inspiratif, tulus...Tuhan lebih sayang dirimu...sangat sedih. Sejak tahun lalu kita (Merpati) mau bikin podcast tentang NTT dan juga inget kata-katanya...Sis Yanthi kalau sudah pas waktunya kita podcast tentang cerita salah satu Putri Kepala Suku di NTT yang sukses dengan tiga orang putra-putrinya selain penulis buku cerita anak-anak yang telah diterbitkan di Gramedia dan aktif menulis di Kompasiana juga kegiatannya yang begitu banyak dalam program-program besar Indonesia di Jerman, tanpa banyak orang tahu dan muncul namanya. You kak Gaby." (Yanthi Sjoekoer).
Ia adalah seorang wiraswasta yang bermukim di Jerman. Saya sendiri pernah bertemu bu Indriati pada tahun 2015 di KJRI Frankfurt, namun setelahnya tidak ada kelanjutan komunikasi lagi. Apa yang menarik dari kepergian seorang Indriati See?
Meninggal sebagai seorang penulis
Pada saat pertama mendengar namanya, saya langsung ingat terkait kegiatan-kegiatan yang pernah diselenggarakannya terkait promosi kain tenun di beberapa kota di Jerman. Cerita saat perjumpaan pertama itu yang menjadikan saya penasaran, apakah ada jejak digital tentang Indriati.
Penelusuran saya berujung pada perjumpaan dengan tulisan terakhirnya sebagai berikut: Jeda...tuk menikmati keindahanmu, kadang membawa ceria, kadang kelabu.Biru berhiaskan putih-tampak berani, suci dan bersih.Ajak aku untuk menyentuhmu dalam kelembutan abadi walau hanya keinginan hati tapi.....Indiati See - HiR, 28.10.2016.
Saya berharap bahwa puisi ini dibaca oleh teman-teman penulis Kompasiana tanpa lihat soal labelnya. Dengan rasa duka, saya coba menafsir sesuai pemahaman pribadi.
Misteri "Jeda" dalam hidup manusia
Jeda itu adalah suatu saat dalam hidup manusia. Suatu kurun waktu, di mana seseorang berhenti untuk melakukan hal yang biasanya atau hal sudah menjadi kesehariannya. Puisi: Menatap Karya-Mu adalah jawaban dari pertanyaan mengapa Indriati menuliskan kata "jeda" pada puisi terakhir dalam hidupnya.
Kata pertama itu bagi saya adalah kata kunci (password) untuk mengerti bukan saja apa artinya "jeda" sebagai seorang penulis, tetapi juga apa artinya "jeda" dalam hidup manusia. Dari kata "Jeda" itu, Indriati seperti menitipkan pesan kepada teman-teman penulisnya, "jangan lupa "jeda" dalam menulis!"Jeda itu ternyata penting.
Saya mengerti "jeda" dalam menulis sebagai saat khusus untuk menyegarkan kembali pikiran dan daya nalar. Jeda sama dengan saat seseorang mengambil jarak agar bisa melihat dengan kritis apa yang ditulis dan apa pesan dari tulisannya sendiri.
Jeda adalah saat istimewa bagi tubuh untuk mengatasi kelelahan fisik. Namun, pengalaman dan pemahaman ku masih terlalu sederhana kalau dibandingkan dengan seorang Indriati See tentunya. Indriati sudah melampaui perspektif yang saya miliki saat ini.
Jeda bagi Indriati adalah saat rahmat untuk menatap karya Tuhan. Saya disadarkan oleh hubungan makna dari puisi terakhir Indriati bahwa "jeda" itu bukan semata-mata saat untuk melihat diri sendiri saja, tetapi saat untuk melihat karya Tuhan.
Itulah kenyataannya, setiap kali seseorang mengambil saat jeda, mata selalu melihat segala sesuatu di sekitarnya; entah melihat tumbuhan, air, pemandangan dan lain sebagainya. Semua itu adalah karya Tuhan.
Dari situlah tubuh manusia kembali dipenuhi dengan energi baru; tubuh menjadi rileks dan pikiran menjadi segar. Ya, terima kasih Indriati, puisi terakhirmu telah membuka pemahamanku yang selama ini jauh dari kesadaranku sendiri.
Kematian dalam perspektif seorang penulis Fiksi
Indriati meninggalkan barisan kata-kata ini: "Ajak aku untuk menyentuhmu dalam kelembutan abadi walau hanya keinginan hati tapi....." Kata-kata itu bagi saya adalah pengungkapan fiksi tentang kematian dari seorang Indriati See. Kematian adalah saat menyentuh dalam kelembutan abadi Sang Pencipta.
Terasa sekali pada puisi terakhir itu, Indriati sudah masuk dalam saat-saat jeda pergulatan mendefinisikan hidupnya sendiri. Dengan sadar pula, Indriati mengatakan, kematian itu momen yang bersentuhan dengan kelembutan abadi, namun ia realistis mengakui bahwa itu "hanya keinginan hatinya."
Terlihat sekali, Indriati adalah penulis fiksi yang punya khasana batin spiritual, namun juga realistis. Akhir dari puisi terakhirnya ada kata "tapi..." Lagi-lagi, menarik untuk ditelisik. Mengapa seperti itu? Mengapa ia mengakhiri barisan puisi terakhir dalam hidupnya dengan kata "tapi..."
Indriati benar menjiwai seorang penulis fiksi yang terbuka pada ragam perspektif. Siapa saja silahkan mengisi kata-kata selanjutnya setelah ia mendahului kata "tapi..."Tapi...aku tidak tahu apa yang akan terjadi.Tapi...rencanaku bukanlah rencana-Mu.
Tapi...itu misteri kehidupan ini.Tapi... itu soal hati masing-masing.Tapi...aku ingin kembali menulis.Tapi...aku ingin hidup 1000 tahun lagi.Tapi... dan seterusnya lagi. Tapi...
Demikian beberapa catatan awal pada hari pertama tahun 2022 ini. Sebuah catatan awal tentang misteri "Jeda" untuk mengenang kepergian seorang penulis Kompasiana, Indriati See pada 31 Desember 2021.
Refleksi kecil ini merupakan tafsiran pribadi atas puisi terakhir Indriati See tentang "jeda" sebagai saat untuk melihat karya Tuhan dan dilema batin menghadapi Sang Pencipta.
Salam berbagi, ino, 1.1.2022