Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Waktu kecil, salah satu tugasku di rumah membuka jendela rumah setelah bangun tidur pagi hari. Angin pun berhembus ke dalam rumah. Ruangan yang sebelumnya tertutup sepanjang malam dan terasa pengap menjadi segar kembali.
Gereja Katolik mengalami peristiwa besar pada tahun 1962-1965. Waktu itu Gereja menyelenggarakan Konsili Vatikan II. Pertemuan para uskup sedunia itu membahas tentang pembaharuan dalam kehidupan meng-gereja. Gereja bagai membuka jendela dan membawa angin segar ke dalamnya.
Hampir sebagian besar indera tubuh manusia berfungsi bagai jendela. "Bahan hawa lima,'" kata orang Jawa. Hidung menghirup udara yang membuat tubuh berfungsi baik. Telinga yang terbuka bisa mendengar tentang dunia luar.
Mulut yang terbuka seakan berfungsi sebagai jendela yang menghantar santapan masuk ke dalam tubuh manusia. Bukankah mata juga berfungsi seperti jendela yang membuat manusia melihat dunia di luar sana?
Di tengah kehidupan yang sibuk dan padat manusia kerap membutuhkan ruang kosong dan hening. Orang bisa membuka jendela jiwanya untuk menghirup angin rohani yang menyegarkan.
Dalam komunikasi dan kehidupan bersama, manusia perlu membuka diri terhadap sesamanya. Dahulu buku itu jendela ke dunia yang jauh bagi yang gemar membaca.
Kini, internet seperti jendela besar yang menghubungkan manusia dengan dunia tanpa batas. Salah satu program komputer yang kita gunakan pun disebut Windows (jendela-jendela). Mereka yang terus membuka jendela akal budi dan hati diperkaya secara luar biasa.
Sejauh mana kita telah membuka jendela rumah kita? Rumah bisa berarti tempat kita tinggal, bisa pula komunitas di mana kita menjadi bagiannya. Dapat pula orientasi hidup sosial, agama, dan keilmuan kita. Berbahagialah orang yang tanpa takut membuka jendela rumahnya.
Kamis, 5 Desember 2024
Renalam 336/24HWDSF