Suara Keheningan | RP. Albertus Herwanta, O.Carm
Bisa jadi kehidupan ini tetiba terasa tak berarti dan mengalami diorientasi. Kosong dan sepi. Ini bisa menghinggapi pribadi atau institusi.
Tatkala Paus Benediktus XVI baru saja mengundurkan diri, Vatikan berada dalam posisi “Sede Vacante” alias tahta kosong. Chris McDonnell - dalam Spirituality Vol 19, May/June 2013 – menggambarkan Gereja masuk ke dalam "unknown territory" atau wilayah tak dikenal. Seluruh Gereja diliputi tanda tanya; kurang nyaman.
Aku mengalami gelisah saat masih kanak-kanak. Ketika ayah-ibuku sibuk bekerja dan absen dari rumah. Suasana keluargaku terasa aneh dan kaku. Ada yang hilang. Aku dan saudara-saudariku bagaikan anak-anak ayam yang kehilangan induknya. Gelisah.
Sungguh tidak bijaksana meninggalkan anak-anak di rumah tanpa kehadiran orangtua dalam waktu lama.
Setelah dewasa rasa gelisah kadang meliputi hati. Datang lagi. Kadang berlalu, cepat pergi. Namun, tak jarang “ngendon” berhari-hari - seperti minta segera ditanggapi.
Rasa gelisah memberikan pesan. Pertama, itu salah satu tanda orang belum mencapai yang dicita-citakannya. Masih perlu maju dan berkembang. “Restless is discontent and discontent is the first necessity of progress,” kata Thomas A Edison.*)
Kedua, rasa gelisah muncul, karena pengalaman bersalah. Mengulangi terus kesalahan yang sama menguras energi dan membuat hidup lelah; gelisah.
Bagaimana cara menghadapinya? Ada yang menghindari gelisah dengan mengonsumsi obat penangkal yang malah membawa sial. Orang bijaksana mengolah rasa gelisah dengan hati terbuka kepada tuntunan ilahi. Itu ditemukan dalam sikap tenang ("rest") dan keheningan ("silence").
Gelisah tidak selalu membuat orang harus susah. Selama mereka menggunakannya sebagai kesempatan untuk berada lebih dekat dengan Allah, rasa gelisah membuka jalan bagi datangnya berkah dan anugerah.
Salam dan Tuhan memberkati
SASL, Rabu 11 Januari 2023Alherwanta, Renalam 011/23
*)Kegelisahan itu ketidakpuasan; ketidakpuasan itu kebutuhan untuk maju berkembang.